|
sumber foto: https://m.masralarabia.net |
Perbincangan dialektis yang terjadi antara Grand Syekh Al-Azhar (GSA) dan Rektor Universitas Kairo memantik diskusi hangat di tengah publik, tak terkecuali di kalangan mahasiswa Indonesia di Mesir. Melalui konferensi internasional yang membahas isu Tajdīd Khitab Diniyy yang diselenggarkan pada 27-28 Januari 2020 di Al-Azhar Conference Centre itu, tergambarkan kepada publik perbedaan persefektif akan tuntutan para mujaddid dalam menyegarkan ajaran Islam di era mutakhir ini.
Perlu diingat, Mesir merupakan tempat strategis untuk dijadikan tuan rumah digelarnya konferensi membahas permasalahan yang tengah hangat di kalangan kaum intelektual dari berbagai dunia ini. Selain karena posisi strategisnya dalam dunia pemikiran Islam, eksistensi Al-Azhar, serta letak pertautan antara corak pemikiran timur dan barat; secara historis, Mesir sendiri merupakan negeri yang produktif menyumbangkan mujaddid di setiap abad, mulai dari mujaddid abad pertama Umar bin Abdul Aziz yang lahir di Kota Helwan Mesir, hingga al-Suyūthi pada abad 10 pemilik buku al-Radd ˊalā Man Akhlada ˊalā al-Ardh, Wa Jahila Anna al-Ijtihād Fī Kulli ˊAshr Fardh yang merincikan daftar para mujaddid per-abad. Begitupun di era modern, pemikir pembaharu banyak terlahir dari bumi ini seperti Muhammad Abduh, Mustafa Abdul Raziq, Abdullah Diraz, sebagaimana dapat dilihat dalam daftar versi Amin al-Khuli dalam bukunya al-Mujaddidūn Fī al-Islām.
Berbicara tentang tajdīd, erat kaitannya dengan persoalan ijtihād. Sebab, yang mempunyai kekuatan menjalankan tugas berat tajdīd adalah sosok yang telah sampai pada derajat ijtihad. Sementara, kapabilitas tersebut semakin terkikis di zaman modern ini. Sehingga umat tercengkram dalam kejumudan dan taqlid pada warisan masa lalu.
Lantas, bagaimanakah kriteria mujtahid?
Dr. Hasan al-Syafi’i dalam bukunya Qawl Fī al-Tajdīd, menjelaskan setidaknya ada lima standar (dhawabith) bagi mujtahid dan pelaku tajdid. “Kita menghadapi dua permasalahan besar. Di satu sisi mengkronisnya penyakit kejumudan berpikir, taqlid dan fanatisme madzhab. Di satu sisi, terjadi chaos dalam dakwa Ijtihad.” Ungkap beliau. Karena itulah, tajdid dan ijtihad perlu dikritalisasikan standarisasinya, yaitu sebagai berikut:
1. Berpijak pada rujukan-rujukan hukum Islam yang disepakati, yaitu wahyu. Baik wahyu secara langsung yaitu Al-Quran. Ataupun wahyu secara tidak langsung yaitu Sunnah Nabi. Karena pijakan ini bersifat Rabbaniy al-Mashdar, maka tidak boleh diperselisihkan, khususnya yang bersifat Qathˊiyy al-Tsubūt. Maka tidak ada ruang bagi ijtihad akal dan tajdid dalam hal ini dengan alasan apapun, termasuk klaim “demi kemaslahatan”. Contohnya pada kasus upaya golongan yang menginginkan penyetaraan pembagian warisan antara lelaki dan perempuan.
2. Patuh pada kaidah Bahasa Arab dalam menafsirkan teks-teks agama dan mentakwilkannya. Karena Al Quran dan Sunnah datang dengan Bahasa Arab, maka standarisasi yang wajib ditekuni siapapun pelaku tajdid dan interpretasi teks adalah, patuh pada uslub bahasa Ara,metodenya dalam menta’bir, serta semiotika maknanya yang terperinci dalam Ilmu Bahasa Arab dengan berbagai cabangnya. Berbagai chaos yang menimbulkan pertikaian umat, lahir dari pentakwilan yang tidak berdasarkan kaidah Bahasa Arab yang benar. Sebagaimana digambarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Jāmi’ Bayān al-ˊIlm wa Fadhlih.
3. Mengambil keputusan sesuai kaidah-kaidah ushululiyyahyang telah diekstrak oleh para ulama dari hasil istiqra (penelitian deduktif) dari semua parsial syari’at. Misalnya, kaidah al-Maqashid al-Syarˊiyyah (yang menunjukkan bahwa segala pensyari’atan tujuannya adalah untuk menjaga agama, nyawa, akal, kehormatan dan harta). Kaidah menghilangkan kemudaratan. Kaidah “segala sesuatu berdasarkan maksudnya”, dan seterusnya. Walaupun kaidah-kaidah hasil ekstrak para ulama ushuliyyun, tetapi disebut oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat-nya masuk dalam taraf al-Tawātur Syibh al-Ma’nawi. Pengabaian terhadap kaidah-kaidah ini membawa kepada kefatalan.
4. Mengakumulasi semua dalil yang berbicara tentang suatu perkara, ketika hendak memutuskan hukum atau fatwa terhadap perkara tersebut. Keterburu-buruan mengambil keputusan berdasarkan satu dalil satu saja, tanpa memeriksa dalil yang lain, inilah yang membawa kerancauan. Contoh kasus:
– Memutuskan ketidakbolehan berdiri menghormati manusia atau menunduk ketika berjabat tangan. Padahal terdapat dalil lain yang menganjurkan untuk saling menghormati sesama manusia.
– Misalnya Khawarih yang mengkafirkan pengikut Sayiduna Ali RA dan Sayiduna Muawiyah RA, karena berdalil pada satu dalil, tetapi melupakan dalil yang lain.
5. Ketajaman nalar dalam memahami betul fenomena terkini yang berkembang dan permasalahan-permasalah terbaru yang terus muncul, yang beragam sesuai perbedaan geografis dan perbedaan situasi.
Dalam presentasinya pada konferensi ini, ada tiga hal menarik dari paper yang dibawakan oleh El-Khosyt.
-
1) Tajdid dalam Aqidah dan Paradigma Berpikir?
Ia menyoroti akar permasalahan yang menjadi perdebatan antara madrasah-madrasah ideologi dari abad-abad permulaan Islam, yang terwariskan menjadi corak pemikiran berbeda oleh para intelektual zaman sekarang. Yaitu pada isu Khabar Ahad.
Pada tajdid permasalahan-permasalah furu’iyyah, seperti sistem-sistem keislaman (al-Nuzhum al-Islamiyyah), hukum, pendidikan, perpolitikan, tserta tata perekonomian, para pemikir dan ilmuan Islam memiliki leluasa luas untuk melakukan ijtihad sesuai kemaslahatan dalam memajukan peradaban. Adapun pada tataran ideologis (akidah), inilah yang memiliki ruang gerak terbatas untuk di-Tajdid. Yang dipahami dari potongan El-Khusyt yang merepresentasikan madrasah ahlu al-Ra’y, menyerukan kepada umat untuk memberikan porsi lebih kepada akal, dan tidak malah terbelenggu oleh batasan-batasan yang digariskan oleh Imam Abu al-Hasan al-‘Asy’ari. Dalam presentase paper-nya, El-Khosyt menuduh komplemen-kompelen akidah dalam madzhab ˊAsyāˊirah banyak yang berlandaskan Khabar Āhād.
Menurutnya, tidak mungkin membangun Khitab Dīniy baru tanpa mengulang pembentukan paradigma baru, sebagaimana upaya yang dilakukan oleh para nabi, para filsuf, dan revolusioner di setiap masa. Sedangkan paradigma baru ini tidak mungkin dibangun, tanpa adanya pembaharuan dalam Ilmu Teologi. Menurutnya, paradigma yang tercipta dari ilmu teologi inilah yang memoengaruhi tertutupnya akal dan fanatisme. Maka perlu merombak kembali pemahaman terhadap akidah. Ia menyentil akidah Asy’ariyyah, Mu’tazilah dan sekte-sekte akidah lainnya.
-
2) Turats Sebagai Instrumen Tajdid?
Semua sepakat bahwa pembaharuan harus rutin dilakukan di setiap abad. Tantangan terbesar bagi aktivis tajdid pada abad milenial ini adalah dalam mengumpulkan instrumen-instrumen tajdid. Sebagai umat yang memiliki pondasi peradaban, yang kita sebut dengan turats, yang melimpah ruah, baik dalam fikih maupun pemikiran. Permasalahannya adalah, bahasa begitupun situasi yang berbeda antara abad sekarang dengan bahasa khusus yang dimiliki ketika masa penyusunan turats tersebut.
Maka, El-Khosyt menyatakan pemikirannya, bahwa tidak mesti umat Islam menghabiskan tenaganya menggali turats kembali, yang dia sebut Ihya Ulum al-Din. Usaha itu ia analogikan bagaikan merenovasi bangunan tua, yang mana menurutnya sebaiknya membangun sebuah bangunan baru dengan batu-bata dan bahan-bahan sesuai perkembangan zaman, yang dia sebut sebagai Tathwir Ulum al-Din. Sebab, ilmu tafsir, fikih, mustolah hadits, ilmu rijal dan jarh ta’dil semuanya adalah hasil produk manusia. Semua materi di dalamnya hasil ijtihad manusia. Maka tidak menutup kemungkinan untuk berkembang, bahkan diganti dengan yang benar-benar baru.
-
3) Ijtihad dalam Karya Ilmiah dan Kurikulum Pendidikan?
Sebagaimana ulasan di atas, permasalahan terjadinya
tajdid adalah persyaratan untuk sampai derajat ijtihad dalam menelurkan penemuan-penemuan baru dari hasil penelitian. Menurut El-Khusyt, kebanyakan para ulama, professor, peneliti dalam menyusun karya ilmiah hanyalah melakukan penukilan, pensyarahan dan penataan ulang (tahdzib), tetapi minim memasukkan ijtihad baru. Yang menyebabkan epistemologi keilmuan berada dalam stagnas, tidak berkembang, serta tidak segar. Maka ia mengusulkan adanya perombakan metodologi dan outline penyusunan karya ilmiah. Begitupun perlunya pertimbangan-pertimbangan konstitusi-konstitusi modern dalam pengembangan hukum syari’at. Seperti isu perlunya sertifikat talaq, dengan menganalogikan adanya surat nikah. Itulah yang diibaratkan oleh El-Khosyt: “Kalau seandainya Syafi’i hidup kembali. Abu Hanifah hidup kembali. Niscaya mereka akan banyak melakukan rivisi dalam pandangan-pandangan fikih mereka.”
Dari tiga pointer permasalahan di atas, dan masih banyak lagi persoalan-persoalan menggelitik yang bisa terpoinkan dari presentasi El-Khosyt. Bagaimana kita sebagai mahasiswa Al-Azhar mendiskusikannya?
Jangan ketinggalan, ikuti Bedah Buku Nahwa Ta’sīs ˊAshr Dīniyy Jadīd karya Prof. Dr. Osman El-Khosyt Rektor Universitas Kairo yang diadakan kerjasama Lakpesdam Mesir, Mizan Study Club, KM-NTB Mesir dan PPMI Mesir. Rinciannya tertera di pamflet di bawah:
|
Acara Bedah Buku Nahwa Ta’sis Ashr Diniy Jadid Karya Prof. Dr. Osman El-Khosyt |
|
Setelah mengisi dars Tafsir Imam al-Baidhawi di Ruwaq Abbasi, Masjid Al-Azhar.Prof. Dr. Abdul Fattah Abdul Ghani, Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar yang menjadi saksi langsung dan duduk satu panggung dengan Prof. Dr. Osman El-Khosyt saat terjadinya dialog tersebut, diminta oleh mahasiswa untuk memberikan sedikit ulasan tentang Qadhiyah Khabar Āhād yang menjadi bagian topik kritikan GSA terhadap pandangan El-Khosyt,
|
Ulasan Oleh: Muhammad Zainuddin Ruslan.
Jangn lupa tinggalkan jejakmu!
Dilihat: 9