|
Dari kanan: Prof. Dr. Muhammad Al-Sayyid Sulaiman el-Abd, Prof. Dr. Muhammad Hasan Abdul Aziz, Dr. Lalu Turjiman Ahmad, Prof. Dr. Shafwat Ali Shalih usai sidang dan pengesahan gelar doktoral. |
Berbicara tentang Abu Muhammad Abdullah bin Muslim Ibnu Qutaibah Al-Dinawari(213 H- 276 H), berarti kita dihadapkan pada sosok tokoh ensiklopedis dengan ke-rasikhan-nya dalam berbagai disiplin ilmu yang menoreh reputasi tinggi sebagai peletak dasar ilmu linguistik dan sastra, sejarawan, ahli bidang ilmu-ilmu al-Quran, hadits, fikih, ilmu kalam, filsafat dan sebagainya. Karya-karya kanoniknya yang melimpah menjadi pondasi kokoh proyek pembangunan khazanah keilmuan Islam untuk dikembangkan ulama-ulama generesi setelahnya. Artikulasi pemikirannya unik dengan kehadirannya sebagai pemecah polemik dan perdebatan tingkat tinggi yang seringkali terjadi di kalangan ulama mewarnai dinamika perkembangan ilmu pengetahuan pada masa keemasan Islam.
Pemikiran ulama besar abad III Hijriah inilah yang dikaji oleh Dr. Lalu Turjiman Ahmad dalam penyusunan disertasinya saat menempuh program doktoral di Universitas Liga Arab Kairo Mesir. Dengan konsentrasi pada pemikiran dan kontribusi Ibnu Qutaibah dalam kajian linguistik dengan judul disertasi Turāts Ibnu Qutaibah Fī al-Dirāsāt al-‘Arabiyyah.
|
Dr. Lalu Turjiman Ahmad saat duduk di kursi panas ketika sidang tengah berlangsung. |
Pria kelahiran Lombok Timur, 11 September 1982 ini merupakan awardeepenerima Program Beasiswa 5000 Doktor yang diselenggarakan Kementerian Agama RI. Dari sejak tahun 2009 ia terdaftar bekerja sebagai dosen tetap PNS di Universitas Sultan Maulana Malik Ibrahim Banten, hingga mendapatkan izin cuti untuk terbang ke Kairo melanjutkan studi doktoralnya pada tahun 2017. Selain mengisi hari-harinya di Kairo dengan fokus menulis disertasi dan berkonsultasi dengan pembimbing, Pak Lalu juga aktif mengisi pelatihan-pelatihan kepenulisan bersama mahasiswa di Mesir yang diadakan kekeluargaan, afilitif dan lembaga-lembaga kajian. Baik pelatihan menulis karya ilmiah, essai dan teknik menerjemah.
Di kampus, ayah dari dua anak itu beruntung mendapatkan pembimbing dan promotor hebat Prof. Dr. Muhammad Hasan Abdul Aziz yang tak lain merupakan guru besar dan mantan Kepala Jurusan Ilmu Bahasa di Fakultas Darul Ulum Universitas Kairo, serta anggota Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah (Academy Of The Arabic Language) sebuah lembaga bergengsi yang diisi oleh pembesar-pembesar dalam kajian Linguistik Arab. Profesor ini juga produktif menyusun karya ilmiah, di antaranya: Madkhal Ilā ‘Ilmi al-Lughah (cet. Darul Fikr al-‘Arabi), al-Rabth Baina al-Jumal Fi al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’asharah, al-Qiyas Fi ‘Ilmi al-Lughah, Lughah al-Shahāfah al-Mu’āsharah (Cet. Darul Ma’araif) dan puluhan buku serta jurnal berkelas lainnya.
|
Dr. Lalu Turjiman Ahmad bersama Atdikbud KBRI Kairo Dr. Usman Syihab |
Meskipun reputasi Ibnu Qutaibah dan kontribusinya dalam dunia keilmuan tidak asing lagi sebagai penerus proyek para ulama bahasa sebelumnya seperti Sibawaih (w. 180 H), Abu Ubaidah Ma’mar bin Mutsanna (w. 209 H), Al-Ashma’i (w. 216 H), Abu Ubaid Qasim bin Sallam (w. 224 H) dan lain-lain; Pak Lalu dalam disertasinya ini mencoba menguak sisi-sisi yang masih tidak diketahui tentang ulama kelahiran Kufah yang menghabiskan hidupnya di Bagdad itu.
Misalnya dalam sejarah perkembangan Ilmu Balaghah, figur yang dianggap paling pertama mengkonstruksi ilmu ini sebagai suatu bangunan keilmuan yang utuh adalah Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H) melalui karyanya Asrār al-Balaghah dan Dalāil al-I’jāz. Padahal sejatinya teori-teori Ilmu Balaghah yang tertera dalam karya-karya Abdul Qahir sudah dituangkan jauh hari sebelumnya oleh Ibnu Qutaibah walaupun secara berserakan dalam karya-karyanya. Maka Pak Lalu melalui penelitian ini mencoba menelusuri dan menyatukan teori-teori yang berceceran di kitab-kitab Ibnu Qutaibah.
Pandangan linguistik Ibnu Qutaibah memberikan titik terang pada diskurus-diskursus krusial, setidaknya pada tiga hal:
1. Mengungkap sisi-sisi I’jaz Al-Quran.
Sebagaimana diketahui, al-Quran bersifat mu’jiz dengan tiada satupun yang dapat menandingi kandungan dan keindahannya. Tetapi, sekitar abad II Hijriah, atas pengaruh perluasan wilayah Islam dan terjadi pertukaran budaya dengan bangsa-bangsa luar dan masuknya ilmu-ilmu filsafat, beberapa kaum intelektual mulai b
ertanya-tanya: “Dimanakah letak kemukjizatan Al-Quran?”. Dari pertanyaan ini, muncullah pandangan-pandangan berbeda, bahkan muncul konsep-konsep kontroversial yang menghebohkan jagad dunia Islam saat itu, di antaranya Konsep al-Shurfah dan mukjizah muaqqatah. Bagaimana tidak, kelompok ini beranggapan bahwa sebenarnya Al-Quran sejatinya adalah kalam biasa yang sebenarnya bisa diikuti, hanya saja Allah memalingkan hasrat kaum Jahiliyah yang terkenal dengan puncak kefasihannya untuk membuat tandingan.
Maka untuk membendung pemahaman tersebut, Ibnu Qutaibah membantah pemikiran berbahaya tersebut dengan pendekatan kajian linguistik terhadap teks kitab suci. Ibnu Qutaibah menawarkan teori luar biasa yang mengungkapkan keluarbiasaan tata bahasa al-Quran yang disebut wahdatu al-Nazhm al-Qur’ani yang kemudian dikembangkan Abdul Qahir.
2. Mengadvokasikan Teologi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Dengan menguraikan corak-corak gaya bahasa Bahasa Arab yang unik dengan majaz, isti’arah, musytarak, kinayah dan kekayaan gaya bahasa lain yang tertera dalam ilmu bayan, Ibnu Qutaibah dapat menyelesaikan permasalan-permasalahan fundamental teologis yang menyentuh Dzat dan Sifat-Sifat Allah Ta’ala. Melalui konsep majaznya ia mengadvokasikan paham ahlussunnah wal jama’ah dalam melawan paham golongan mujassimah dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat.
3. Memberikan benang merah terhadap teks-teks yang problematis pemahamannya
Dalam berintraksi dengan nash al-Quran maupun hadits, terkadang pembaca menemukan adanya kontradiksi dari satu nash dengan nash yang lain, atau zahir teks yang bertolak belakang dengan logika dan fakta ilmiah. Maka Ibnu Qutaibah dengan berbekal kecerdasan tinggi dan semangatnya mengkaji, dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut dengan membangun kaidah baku untuk diterapkan pada teks-teks yang serupa. Kitab Ta’wil Muskilil Qur’an dan Ta’wil Mukthalif al-Hadits menjadi bukti kepiawaiannya dalam medan ini.
Selain mengadu dan melakukan perbandingan antara pandangan Ibnu Qutaibah dengan sesama ulama masa klasik. Pak Lalu juga mengkomparasikan dan mengadu pemikiran klasik Ibnu Qutaibah dengan teori-teori terbaru dalam kajian linguistik modern, khususnya dengan penelitian Prof. Dr. Ibrahim Anis, linguis besar dunia asal Mesir. Juga dengan pandangan Steffan Ullman, guru besar linguistik asal Hongaria yang menetap dan mengajar di beberapa Universitas di Inggris, termasuk di Oxford University.
Di bagian akhir disertasi, penulis menyorot teori taraduf dan musytarak lafzhi Yang menjadi isu krusial dalam kajian bahasa karena bersentuhan langsung dengan makna, bahkan menurut Imam Al-Suyuthi, menjadi bagian dari aspek I’jaz al-Quran yang juga menjadi proyek pemikiran Ibnu Qutaibah sebelumnya. Dalam diskursus tentang musytarak lafzhi (satu kata dengan ragam makna), Pak Lalu berupaya menyarikan pandangan Ibnu Qutaibah yang terserak-serak dalam sejumlah bukunya, kemudian didiskusikan menurut teori Ibrahim Anis dan Ullman.
Anis dalam pandangannya tentang diskursus tersebut lebih menekankan pendekatan historis. Adapun pandangan-pandangan Ibnu Qutaibah ternyata lebih dekat dengan padangan Ullman yang menggunakan pendekatan deskriptif (washfiyyah) dalam memandang fenomena kebahasaan. Ini sekaligus juga memperkuat pandangan Imam Suyuthi bahwa Al-Quran itu sangat kaya dengan makna dalam tiap-tiap pilihan kosa katanya.
Adapun terkait diskursusmutaradif (beberapa kata yang maknanya sama), Ibnu Qutaibah memandang bahwa pada tingkat tertentu, ia setuju dengan mutaradif. Tetapi meski begitu, sebagai mufassir, ia juga lebih condong mencari furuq lughawiyyah(perbedaan makna di antara kata-kata yang dianggap sama maknanya). Dengan ini maka ia mengatakan bahwa Al-Quran itu sangat detil dalam pemilihan kosa kata. Ibnu Qutaibah membuat klasifikasi-klasifikasi kata menurut medan maknanya. Yang seperti ini kita temukan juga dalam teori-teori linguis modern seperti terorinya Nida yang disebut teori Medan Makna (al-Huqul al-Dalaly).
Demikianlah pemikiran Ibnu Qutaibah yang menjadi bukti kekayaan intelektual umat Islam yang menjadi inspirasi generasi selanjutnya untuk berijtihad menggali sebanyak-banyaknya pengetahuan dan metodologi penyelesaian masalah, sehingga hampir semua pembahasan kajian linguistik ternyata telah tersentuh olehnya sejak 1200 tahun silam. Bahkan epistimolgi ilmu linguistik yang terus berkembang mulai dari semiotika, semantik, sintaksis, sebenarnya bisa dirunut jejaknya dalam karya-karyanya.
Sidang disertasi doktoral yang diadakan di Auditorium Institute of Arab Research and Studies (IARS), The Arab League ALECSO pada Ahad 28 Juli 2019 itu berlangsung selama 2 jam 30 dengan kehadiran dua penguji, Pertama, Prof. Dr. Muhammad Al-Sayyid Sulaiman el-Abd, guru besar dan mantan kepala jurusan Ilmu Bahasa Arab Universitas Ain Syams. Juga Prof. Dr. Shafwat Ali Shalih guru besar di departemen Ilmu Bahasa di Fakultas Darul Ulum Universitas Kairo yang meraih gelar doktoralnya di Lancester University Inggris.
Kedua pembimbing memberikan apresiasi tinggi atas hasil jerih payah penelitian yang dilakukan Lalu Turjiman dan memberikan kritikan-kritikan penting serta membangun. Tak jarang mencandainya dengan memanggil “Ya Abna al-Muluk” (wahai anak raja- red), merujuk kepada arti kata Lalu dalam budaya Sasak Lombok yang merupakan imbuhan nama bagi para keturujan raja yang dulu pernah menguasai pulau ini.
(Rep: Muhammad Zainuddin Ruslan).
Jangn lupa tinggalkan jejakmu!
Dilihat: 9
Mantap ulasannya, keren sekali reporternya