Jamak diketahui bahwa Lailatulqadar merupakan malam yang kemuliaan lebih baik daripada seribu bulan.
Sebagaimana yang tertera di dalam firman Allah Swt:
ليَلْةَ اُلقْدَرِْەۙ خيَرٌْ مِّن اْلَْفِ شهَرْ:ٍۗ قال اللهّ تعالى
Artinya: Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.
Menurut para ulama, malam tersebut memiliki makna yang cukup luas. Sebagian ulama memaknai bahwa malam itu sebagai malam kemuliaan dan malam penetapan. Para ulama sepakat terdapat kebenaran dari kedua makna tersebut. Sebagaimana tertulis di dalam kitab Hasyiah I’anahath-Thalibin‘ala al-Hall al-Fazh Fathal-Mu’in karya al-A’lamah Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha al-Dimyathi al-Bakri, beliau mengutip dari Hasyiyah al-Jamalala al-Jalalain yang mengatakan bahwa malam tersebut bermakna sebagai malam penetapan atau takdir: “Seorang mujahid di malam Lailatulqadar bertanya: Apakah kamu mengetahui apa itu Lailatulqadar? Kemudian ia menjawab: Malam itu adalah malam penetapan dan memiliki makna malam takdir.
Dinamakan demikian karena Allah Swt. mentakdirkan di dalam malam tersebut segala sesuatu yang dikehendakinya dari perkara kematian, rezeki dan lainnya lalu disampaikan ke 4 malaikat dalam mengatur urusan dunia yaitu malaikat Israfil, Izrail, Mikail dan Jibril AS. Dari makna penetapan tersebut dijelaskan oleh Syeikh al-Fasyani di dalam kitabnya Tuhfatul al-Ikhwan. Beliau mengatakan arti dari itu adalah Allah Swt. telah mentakdirkan kematian dan perkara rezeki, kemudian memperlihatkan perkara tersebut kepada malaikat-malaikat, dan Allah Swt menyuruh mereka agar menulis segala sesuatu yang Allah Swt. telah takdirkan di tahun itu atas sesuatu yang dilapangkan dan dipersempitkan-Nya. Dengan argumen tersebut sebagian ulama mengatakan bahwa Lailatulqadar memiliki makna penetapan atau takdir.
Baca juga: Perlunya Kerjasama Masyarakat dalam Mencegah Penyebaran Paham Radikal
Sedangkan yang mengatakan bahwa Lailatulqadar tersebut memiliki makna kemuliaan, dapat kita ambil dari kutipan Syekh Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha al-Dimyathi al-Bakri di dalam Hasyiyahnya. Beliau menjelaskan bahwa makna Lailatulqadar yaitu malam kemuliaan. Dinamakan demikian karena keagungan, kemuliaan dan ketetapan-Nya yang terdapat di malam Lailatulqadar tersebut. Sifat kemuliaan tersebut memiliki potensi untuk mensifati orang yang menaati perintah Allah Swt. sehingga dapat kita juluki sebagai Dzu Syarof (Orang yang mulia).
Nah, setelah kita mengetahui apa itu Lailatulqadar. Di sini kita juga akan menelisik kapan terdapatnya Lailatulqadar? Perihal tersebut dapat kita ketahui dari beberapa hadis Rasulullah Saw. dan beberapa pandangan ulama yang faqih dan alim. Hadis tersebut diriwayati oleh Al-Imam Bukhori dan Al-Imam Muslim dari Aisyah R.A di dalam kitab shohihnya:
ففي الصحيحين عن عائشة رضي لله عنها أن النبي”صلى لله عليه وسلم” قال: تحرو اليلة القدر في العشر الأ
واخر من رمضان
Artinya: Carilah Lailatulqadar itu pada sepuluh hari terakhir (H.R. Bukhori dan H.R.Muslim).
Terdapat pula dalam hadist riwayat Al-Bukhori dari Ibu Abbas R.A:
وفي صحيح البخاري عن ابن عباس “رضي لله عنهما” عن النبي”صلى لله عليه وسلم” قال: التمسوها في العشرا
لأواخرمن رمضان، في تاسعة تبقى، في سابعة تبقى، في خامسة تبقى
Artinya: Carilah Lailatulqadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadan. Pada malam yang kesembilan tersisa, malam yang ketujuh tersisa, malam yang kelima tersisa (H.R.Bukhori).
Baca juga: Simposium PPI Timtengka 2021 Angkat Isu Moderasi Beragama
Kemudian dapat kita telusuri juga dari perkataan seorang ulama tasawuf yaitu Al-Imam al-Ghozali beliau mengatakan:
قال الغزالي وغيره إنها تعلم فيه باليوم الاول من الشهر، فإن كان أوله يوم الاحد أويوم الاربعاء: فهي ليلة تسع
.وعشرين
.أويوم الاثنين: فهي ليلة إحدى وعشرين
.أويوم الثلاثاء أو الجمعة: فهي ليلة سبع وعشرين
.أو الخميس: فهي ليلة خمس وعشرين
أويوم السبت: فهي ليلة ثلاث وعشرين
Jika awal Ramadan jatuh pada Minggu atau Rabu, maka Lailatulqadar akan turun pada malam 29 Ramadan.
Jika awal Ramadan jatuh pada Senin, maka Lailatulqadar akan turun pada malam 21 Ramadan.
Jika awal Ramadan jatuh pada Selasa atau Jumat, maka Lailatulqadar akan turun pada malam 27 Ramadan.
Jika awal Ramadan jatuh pada Kamis, maka Lailatulqadar akan turun pada malam 25 Ramadan.
Jika awal Ramadan jatuh pada Sabtu, maka Lailatulqadar akan turun pada malam 23 Ramadan.
Apabila mengikuti kaidah Imam Ghazali tersebut, maka kemungkinan turunnya Lailatulqadar pada Ramadan tahun ini ada pada malam 27 Ramadan atau bertepatan dengan Selasa (9/5/2021). Hal itu didasari atas hari permulaan Ramadan adalah hari Selasa. Namun, terdapat perbedaan perhitungan antara pendapatnya Al-Imam al-Ghozali dengan para sufi lainnya:
وإنا جميعا إن نصم يوم جمعة ** ففي تاسع العشرين خذ ليلة القدر وإن كان يوم السبت أول صومنا ** فحادي
وعشرين اعتمده بلاعذر وإن هل يوم الصوم في أحد فذا ** بسابعة العشرين مارمت فاستقر وإن هل بالاثنين
فاعلم بأنه ** يوافيك نيل الوصل في تاسع العشري ويوم الثلاثا إن بدا الشهر فاعتمد ** على خامس العشرين
تحظى بها فادر وفي الاربعا إن هل -يامن يرومها-** فدونك فاطلب وصلها سابع العشري ويوم الخميس إن بد
الشهر فاجتهد ** توافيك بعد العشر في ليلة الوتر
Jika awal Ramadan hari Jum’at maka Lailatulqadar malam ke-29.
Jika awal Ramadan hari Sabtu maka Lailatulqadar malam ke-21.
Jika awal Ramadan hari Ahad maka Lailatuqadar malam ke-27.
Jika awal Ramadan hari Senin maka Lailatulqadar malam ke-29.
Jika awal Ramadan hari Selasa maka Lailatulqadar malam ke-25.
Jika awal Ramadan hari Rabu maka Lailatulqadar malam ke-27.
Jika awal Ramadan hari Kamis maka Lailatulqadar malam ganjil setelah malam ke-20.
Baca juga: Bersua Ramadan di Negeri Para Nabi
Pada kenyataannya untuk mengetahui kapan pastinya akan terjadi malam Lailatulqadar Wallahualam karena hanya Allah Swt. yang Maha Mengetahui. Adapun hikmah yang dapat kita ambil dari perbedaan pendapat tersebut yaitu agar kita senantiasa giat dalam menghidupkan setiap malam dengan amal ibadah pada terakhir Ramadan, baik dengan iktikaf yang sesuai dengan anjuran Rasulullah Saw. Kejadian Lailatulqadar tersebut dapat kita ketahui dengan tanda-tanda sebagai berikut: Cuacanya teduh, matahari terbit di permulaan pagi hari dengan sinar yang tidak panas.
Adapun level-level terkait untuk menghidupi malam-malam Lailatulqadar terdapat level yang paling tinggi, tengah dan bawah. Untuk level paling tinggi: kita dapat menghidupinya dengan salat malam, membaca Al-Quran dengan tadabbur, kemudian memperbanyak doa. Sebagaimana yang telah dianjurkan Rasulullah Saw. di dalam sabdanya ketika Sayyidah Aisyah bertanya mengenai doa apa yang baik untuk dipanjatkan ketika Lailatulqadar telah tiba.
حدَثَّنَاَ يزَيِدُ قاَل أََخبْرَنَاَ الْجرُيَرِْيُّ عَنْ عبَدْ اِللهَِّ بْنِ برُيَدْةَ أََنَّ عاَئِشةََ قاَلَتْ ياَ رَسوُل اَللهَِّ إِنْ واَفقَْت لُيَلْةَ اَلقْدَرِْ فبَِم أَدَْعوُ
قاَلَ قوُلِي اللهَُّمَّ إنَِّكَ عفَوٌُّ تُحِب اُّلعْفَوَْ فاَعْفُ عنَِّي
Aisyah berkata “Wahai Rasulullah, apabila saya menjumpai malam Lailatulqadar, bagaimana saya harus berdoa?” Rasulullah Saw. menjawab, “Katakanlah Allahumma Innaka Affuwun Tuhibbul ‘Afwa Fa’fu ‘Anni (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Engkau mencintai seorang pemaaf, maka ampunilah aku).” (HRAhmad).
Baca juga: Mari Mengenal Masyayikh Al-Azhar
Untuk level yang menengah: kita dapat menghidupkannya dengan sebagian malam saja. Dan untuk level yang paling bawah: kita dapat menghidupinya dengan salat Isya, Shubuh secara berjamaah. Pastinya yang lebih baik untuk kita laukukan yaitu dengan paling banyak amalannya. Sesuai dengan mengambil kaidah Ushul Fiqh:
من كان أكثرفعلا أكثر فضلا
Begitulah Rasulullah Saw. mensunahkan untuk mengamalkan iktikaf dengan sebaik-baiknya ketika hendak ingin meraih malam Lailatulqadar. Sejatinya beramal dengan iktikaf diperbolehkan kapapun, lebih afdal ketika malam hari kesepuluh terakhir di bulan suci Ramadan. Apabila kita telah mendapatkan hakikat dari Lailatulqadar tersebut dianjurkan bagi kita untuk merahasiakannya. Karena itu adalah sebuah kemuliaan yang didapatkan hanya untuk seorang hamba yang dikehendaki untuk memperoleh kemuliaan dari Lailatulqadar tersebut.
Sebagaimana doa kita ambil dari perkataannya Syekh An-Nawawi di dalam kitabnya Syarh Muslim (ولاينال فضلها إلا مّن أطلعه اللهّ عليها) dan hukum sunah dalam beriktikaf dapat berubah menjadi wajib ketika Mu’takif bernazar dengan iktikaf tersebut, dan dapat menjadi haram jika seorang istri yang hendak beriktikaf tetapi tidak atas izin suami, dan dapat menjadi makruh jika perempuan yang mengundang fitnah. Adapun syarat–syarat yang menjadi patokan sah atau tidaknya kita ketika beriktikaf, yaitu:
Niat (Nawaitusunnatul I’tikaf atau Nawaitu mandzurlil I’tikaf–kalau diniati sebagai nazar)
Baca juga: Tahapan Belajar Fikih Asy-Syafi’i
Berdiam diri di masjid (Tidak sah jika kita hendak beriktikaf di selain masjid, seperti di sekolah, rumah dan di tanah yang belum diwakafkan sebagai masjid, akan tetapi sah jika beriktikaf di rumah yang memiliki ruangan khusus untuk sholat dalam keadaan tersebut hanya berlaku untuk perempuan saja). Sedangkan rukun dari beriktikaf adalah lubsun (Berdiam diri), Niat, Mu’takif (orang yang beriktikaf), Mu’takif fihi (tempat di mana mu’takif beriktikaf). Adapun yang harus kita perhatikan ketika kita berniat agar iktikaf kita dianggap sah. Di antaranya:
Apabila kita berniat Sunah kemudian kita keluar dari masjid tanpa ada Azm niat atau rencana lagi untuk kembali maka terputuslah iktikafnya walaupun ingin mengeluarkan hajat ataupun yang lain. Dan jika ingin beriktikaf kembali maka harus memperbarui niatnya. Begitupun sebaliknya, jika ia keluar masjid namun terdapat Azm niat atau rencana untuk kembali lagi ke masjid tersebut maka tidak perlu memperbarui niatnya.
Apabila iktikafnya tersebut dikaitkan dengan jumlah banyaknya dia bernadzar semisal; satu bulan maka niat yang dilafadzkan adalah Nawaitu I’tikaf Syahron, kemudian ia hendak keluar dari masjid dengan alasan selain membuang hajat (makan/semacam yang memutuskan iktikafnya), maka jika ia kembali kembali ke masjid untuk beriktikaf maka ia harus memperbarui niat jika belum ada Azm (Niat/rencana) untuk kembali ke masjid ketika ia keluar dari masjid tersebut begitupun dengan sebaliknya.
Apabila seorang Mu’takifin mengkaitkan niatnya dengan berniat berturut-turut tanpa terputus dalam iktikafnya semisal; ia berniat Nawaitu I’tikaf Syahran mutatabian kemudian ia ke luar masjid dengan memiliki udzhur semisal ia ingin membuang hajat/ia mengambil makanan dan minuman dengan syarat ia telah memiliki Azm ketika hendak ke luar masjid dan juga ketika ia lupa bahwa ia sedang beriktikaf walaupun lupanya itu telah lama dan tiba-tiba ia sakit dan begitu juga seorang wanita haid yang tak terlepas dari batas masa haidnya. Maka iktikafnya tidak dianggap terputus, maka tidak diwajibkan untuk berniat lagi ketika ia kembali ke masjid guna untuk meneruskan iktikafnya.. Namun, iktikafnya harus diqodho selama masa ia keluar dari masjid kecuali ketika ia keluar tadi dengan alasan ingin membuang hajat yang belum dianggap lama ia keluarnya. Adapun seperti makan, juga tidak diwajibkan untuk qodho. Karena itu sesuatu yang harus dilakukan seperti halnya yang dikecualikan. Berbeda dengan sakit maupun haid yang wajib diqodho.
Baca juga: Madrasah Keilmuan Al-Azhar
Adapun alasan-alasan jika kita keluar dari masjid maka terputus niat berturut-turut kita jika keluarnya tersebut dikarenakan menjenguk orang sakit, mengunjungi tetangga, berwudhu di luar masjid sedangkan di dalam masjid tersebut masih terdapat air wudhu dan sholat jenazah maka alasan-alasan tersebut terputus niatnya dalam artian iktikafnya harus diulang dari iktikaf hitungan pertama jika ia berniat nadzar yang berturut-turut namun jika ia berniat sunah maka tidak diwajibkan untuk mengulang. Selagi masa penjengukan tersebut tidak lama dan ketika hendak sholat jenazah tidak menunggu jenazah datang.
Adapun hal yang membatalkan iktikaf jika terjadinya hubungan intim baik di masjid ataupun di luar masjid, semisal; ketika kita keluar masjid dengan adanya hajat yang harus dilakukan di rumah, lalu ketika sampai di rumah melakukan hubungan intim, maka iktikafnya batal. Begitupula jika sekadar meraba atau mencium bahkan Istimna’ (bersenang-senang dengan passngan) maka itu juga membatalkan iktikaf selagi keluar mani. Jika tidak, maka tidak batal.
Mungkin ini saja yang dapat Al-faqir ulaskan, sekiranya bermanfaat maka Alhamdulillah dan jika terdapat khilaf maka saya memohon maaf dengan adanya kekhilafan tersebut. Selamat Menunaikan Ibadah Puasa Ramadan dan Selamat berjuang menggapai Ridho Allah Swt. dalam malam Lailatulqadar.
Penulis: M. Luthfir Rahman Saputra
Editor: Dwi Wijaya
Ingin tulisan Anda diupload dan direpost di website PPMI, silahkan bisa hubungi Narahubung di bawah ini:
– wa.me/201019533008 (Wijaya) Pimred Website PPMI Mesir.
– wa.me/201140841837 (Syaifur) Dirut Website PPMI Mesir.
– wa.me/201559711656 (Nadya) Humas Website PPMI Mesir.
Atau bisa langsung DM Instagram Website PPMI Mesir @ppmimesir.or.id
Syarat dan ketentuan berlaku
______________
#PPMI Mesir, milik bersama