Lagi-lagi, mahasiswa Indonesia di Mesir harus kembali bersyukur dengan kedatangan panutan yang selama ini ditunggu-tunggu oleh seluruh warga Indonesia. Beliau adalah TGB K.H Dr. Zainul Majdi M.A, Gubernur Nusa Tenggara Barat sekaligus ketua Organisasi International Alumni al-Azhar (OIAA). Berikut adalah sajian yang diberikan beliau dalam acara Inaugurasi Rumah baru Keluarga Mahasiswa Nusa Tenggara dan Bali (KMNTB) pada Jumat (19/1) kemarin tentang dua nikmat yang tidak kalah penting untuk selalu disyukuri, yaitu nikmat berkebangsaan dan nikmat al-Azhar. Karena poros keberkahan terletak pada kesyukuran kita atas nikmat yang Allah berikan. (manât al-Barakah al-Syukru ‘ala ni’matillah) :
1. Spektrum Berkebangsaan (Dâirah al-Wathaniyyah)
a. Selain lingkaran kesyukuran menjadi muslim –yang notabenenya sudah pasti– ada lingkaran atau bagian lain yang mestinya disyukuri dengan sesungguh-sungguhnya. Ia adalah spektrum kebangsaan (Dâirah wathaniyyah). Kita harus bersyukur menjadi bagian dari bangsa Indonesia secara sadar. Karena tidak semua umat Islam di dunia ini mendapatkan nikmat menjadi bagian dari bangsa yang besar dan satu. Dan tugas kita sekarang adalah senantiasa memastikan dan menjaganya agar tetap satu.
b. Kenapa harus dengan spektrum kebangsaan? Karena ketahuilah, dahulu ada –bahkan banyak– bangsa yang telah bersatu, namun ‘mungkin’ karena lupa atau dilupakan dengan lingkaran ini, serta menganggap bahwa ini adalah sesuatu yang otomatis dan sudah begitu saja teradi, maka diambilah nikmat berbangsa tersebut oleh Allah. Berbangsa adalah hasil dari perjuangan sengaja yang dilakukan oleh kumpulan manusia dari generasi ke generasi, maka lahirlah suatu bangsa. Dan ini perlu ditanamkan pada diri setiap individu.
c. Jika menelaah dalam penjelasan kaidah-kaidah yang dibentuk oleh para ulama, kita akan menemukan beratus-ratus kaidah yang kemudian di press menjadi empat atau lima. Kemudian datanglah Imam Izuddin bin Abdissalam yang menjadikannya satu kaidah namun mencangkup keseluruhannya, yaitu “jalbul maslahah wa dar`ul mafsadah”. Karena kaidah yang pokok dari turunnya agama Islam adalah jalbul masalahahyakni “menghadirkan kemaslahatan”, dan bangsa (wathan) merupakan bagian dari maslahat tersebut.
d. Ulama-ulama terdahulu tidak ada yang mau ketinggalan andil dalam membangun bangsanya. Saat masa kombinasi kemerdekaan, pelajaran kitab-kitab ditutup dan diganti dengan belajar beladiri ataupun bambu runcing. Karena itu adalah ilmul hâl, yang membangun kekuatan untuk membebaskan bangsa pada saat itu.
e. Karena kemaslahatan untuk umat di indonesia tidak akan mungkin tercapai tanpa adanya wathan yang mustaqimdan adanya suatu bangsa yang merdeka dan utuh. Maka disni kaidah mengatakan “wa lil wasâil hukmu al-maqâshid” (sarana dan mekanisme hukumnya sama dengan tujuan dan cita-cita). Kemaslahatan itu sesuatu yang wajib diperoleh, hadirnya bangsa dan Negara adalah satu jalan. Maka mencapai kemaslahatan itu wajib hukumnya bagi kita.
f. Banyak Negara yang hancur karena dâirah wathaniyyah-nya sudah tidak diterapkan. Keamanan dan kesejahteraan (Al-amnu wa al-amân) adalah salah satu tujuan ditegakkannya syariat. Dengan atribut aman inilah Allah Swt bersmupah “wa hâdza al-balad al-amîn.” Allah akan sangat marah bagi mereka yang melakukan kerusakan. Bahkan jika hanya ”niatan” saja, Allah sudah sangat murka. “wa man yurid biilhâdi bidzulmin nudziqhu bi’adzâbin alîm. (liaanna Al- Amân wal amnu qabla al-îmân.) Pekerjaan kita untuk berdakwah di lapangan kehidupan tidak boleh merusak ketertiban sosial.
g. Dalam hidup ini kita selalu dalam keterkaitan (Khalaqal insaana min ‘alaq). Misalnya, kita yang sesama anak bangsa indonesia, azhari, KMNTB, pelajar al-Azhar, sunni, syafi’i dan lain sebagainya. Ketika kita hanya hidup dengan mengingat satu identitas saja dan melupakan hubungan yang lain, maka itulah awal dari rusaknya hubungan sosial kita. Secara harfiah, ayat tersebut menunjukkan akan terbentuknya manusia dari rangkaian proses; mani-gumpalan darah- dan menjadi daging menggantung di dinding rahim. Ini membuktikan bahwa sejak dulu kita sudah bergantung pada sesuatu lain di luar kita. Seorang muslim yang baik adalah yang bisa menjaga hubungan-hubungan ini dengan baik.
2. Spektrum Al-Azhar (Dâirah Azhariyyah)
a. Yang kedua adalah kesempatan belajar di al-Azhar. Dalam al-Quran tidak ada Negara yang disebutkan kecuali mesir. “udkhulu mishra insya`allahu âmiinîn”. Secara eksplisit Allah mempersilahkan untuk semua orang memasukinya. Inilah bagian dari keiistimewaan dari negri ini.
b. Ketika wacana keislaman di dunia ini ditarik ke kanan (bahkan sampai se-kanan-kanannya) dan ke kiri (sampai ke-kiri kirinya), al-Azhar tetap kokoh dengan wasatiyyahnya. Barat menuding bahwa timur-tengah hanya bisa menghafal dan tidak paham metodolgi ataupun analisa. Ini semua adalah “kejahatan mental”, jangan dengar tentang propaganda semacam itu, karena sejarah dan waktu telah membuktikannya.
c. Saat ini kita berada di dalam suatu lingkungan yang bisa disebut “Mâidah al-Rahman”, dengan hidangan yang lengkap kasih sayang dan spektrum kesyukuran yang sangat luas. Kita tiggal memilah-milih. Ibarat anda sedang di depan sumur yang airnya jernih dengan kualitas terbaik, maka timbalah! Jangan hanya cukup dengan satu tetes dua tetes atau mengambil tetesan timba orang lain.
d. Inilah daairah azhariyyah (spektrum keazharian). Jika anda syukuri ini dengan belajar sungguh- sungguh, maka itu semua adalah lebih dari cukup untuk menghadapi tantangan-tantangan kehidupan. Sekarang sudah banyak sekali halaqoh keilmuan, yang mana dulu tidak bisa didapatkan, maka manfaatkanlah itu.
e. Dalam pertemuan kemarin, salah satu pesan yang disampaikan oleh Syekh al-Azhar kepada para pimpinan organisasi alumni di negara adalah : “Dimanapun sekarang muslim itu berada, dia tidak boleh memperlakukan masyarakatnya sebagai musuh. Dengan lisan al-hâl-nya ia tidak boleh membedakan dirinya dengan masyarakat. Namun dakwah kita h
aruslah masuk ke dalam tubuh masyarakat.”
aruslah masuk ke dalam tubuh masyarakat.”
f. Terkadang sikap terhadap saudara kita seringkali membuat kita lupa untuk berbaur dengan mereka. Namun jika itu hanya terkait dengan kebiasaan saja, maka bukanlah sebuah masalah. Ulama telah menetapkan bahwa kebiasaan merupakan salah satu konfensi yang harus diakui (al-‘Adah al-Muhakkamah). Jika ada suatu kebiasaan yang tidak bertentangan dengan islam, maka ikutilah dan berbaurlah. “Bagaimana anda mau mengajak pada kebaikan, kalau orang yang anda ajak itu tidak melihat kelapangan hati anda untuk menerima kebaikan yang mereka yakini. Kebiasaan yang mereka lakukan adalah kebaikan menuurut mereka. Substansi bagaimana kita berdakwah, jangan hanya menyiapkan mazahirnya saja.”
g. Intinya adalah banyak bersyukur. Sadarilah ketika Allah mengatakan “wa qolîlun min ibâdihi syakuur,” karena tidak mudah mensyukuri seluruh dimensi kehidupan. Faktor terbesar yang mengokohkan Indonesia adalah lem keislaman, terkhusus lem dengan manhaj wasati ahlussunah wal jamaah, moderasi islam, yang mana diajarkan oleh al-Azhar al-Syarif.
h. Salah satu insprasi dari membangun NTB adalah manhaj al-Azhar. Yaitu dengan memperbesar aspek maslahat dan memperkecil aspek kemudhorot-an, layaknya yang dilakukan oleh Rasul. Keburukan tetap ada, namun ia dipinggir, tidak ditengah dan yang menjadi mainstream adalah kebaikan. Kebaikan dan keburukan pasti ada dimana-mana, namun sekarang bagaiman kita meletakkan kebaikan itu di tengah, sehingga dengan sendirinya keburukan akan tersingkir secara perlahan.
Rep/Red : Bana
Jangn lupa tinggalkan jejakmu!