|
Doc : Perfotoan seluruh peserta Kajian Nona, Wihdah PPMI Mesir |
Suara PPMI, Kairo- Bersama dengan Fatayat NU Mesir, Keputrian KSMR, Keputrian KMJ, dan Keputrian IKPM, Wihdah PPMI Mesir selenggarakanKajian Nona dengan mengangkat tema: “Femisnisme dan Pandangan Islam Mengenai Persetaraan Gender; Kajian Mendalam Tafsir An–nisa Ayat 34” pada Ahad (20/8) di Aula Griya Jateng KSW.
Yang menjadi salah satu tujuan diselenggarakannya acara ini, menurut Nuansa, Ketua Wihdah PPMI Mesir, agar tumbuhnya rasa percaya diri pada seorang perempuan, juga agar mengetahui dimana dan bagaimana sebenarnya posisi seorang perempuan tsb. Mahasiswi Fakultas Bahasa Arab tersebut juga menyatakan bahwa dengan kajian Nona kali ini para perempuan mampu mengetahui apa-apa yang menjadi tantangan bagi mereka di abad 21 beserta solusinya.
Kajian ini diisi oleh Silvani Yuzarni Lc, M.A, seorang Master yang telah menyelesaikan studi S2 nya beberapa bulan lalu dengan tesis berjudul “Pengaruh Fenimisme pada Wanita Indonesia dan Hermeneutika dalam Dunia Barat”. Dalam pemaparan materinya, beliau menyampaikan berbagai hal mengenai feminisme; dari asal mula, sebab terbentuk, macam-macamnya, serta pandangan Islam terhadap feminisme itu sendiri.
|
Doc : Penyampaian Materi dari Narasumber |
Beliau berkata bahwa fenimisme berasal dari bahasa Yunani fides dan minus yang berarti kurang imannya. Hal ini menggambarkan kaum wanita yang sangat mudah tergoda oleh iblis, dan bertolak belakang dengan kemaskulinan pada laki-laki. Juga muasal feminisme yang terbentuk setelah adanya Revolusi Prancis yang mengagungkan kebebasan.
Fenimisme memiliki 3 gelombang pemunculannya. Dimulai dari gelombang pertama, gelombang feminisme liberal, yang menyerukan hak kebebasan untuk wanita dalam pendidikan, politik, dan ekonomi pada awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Disusul gelombang kedua, gelombang feminisme radikal, yang mulai mengeluarkan pendapat akan hak wanita terhadap dirinya sendiri seperti tidak akan menikah, hamil, melahirkan, menyusui dll jika mereka tidak menginginkannya. Ini terjadi di tahun awal 1960-1980. Di gelombang ini pulalah muncul feminisme sosialis atau feminism marxis yang didalangi Karl Mark, seorang tokoh liberal barat. Dan terakhir gelombang ketiga yaitu fenimisme postfeminisme. Kaum ini mulai menuntut pemisahan kehidupan dari laki-laki, menuntut kebebasan menikah sesame gender, dll, yang dimulai pada 1980 hingga sekarang.
Selain menjelasakan tiga gelombang pemunculan feminisme serta macam-macamnya, Silvani juga menerangkan tren-tren fenimisme abad ini yang diantaranya terdapat fenimisme Islam. Beliau menegaskan bahwa aktivis fenimisme Islam kerap menafsirkan ayat-ayat Al quran agar sesuai dengan keinginan mereka, atau mereka menafsirkan secara kontekstual, yaitu ayat yang diturunkan berlaku hanya untuk zaman dahulu.
“Masalah-masalah yang terkesan menindas kaum wanita seperti KDRT, poligami, dll, penyelesaiannya bukanlah dengan fenimisme. Kita dan masyarakat umum harus kembali kepada Al-Quran apapun masalahnya—tentu dengan memahaminya secara komperhensif. Tidak perlu mencari kebebasan, karena mereka sudah hurrahsedari awal, sudah bebas”, tanbih beliau di akhir kalamnya.
Adapun pemateri kedua adalah Muharrikah Ramadhaniah Lc. Beliau menjelaskan tafsir mengenai surat Annisa ayat 34 secara terperinci. Menurutnya, ayat 34 ini berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya dikarenakan adanya irtibal atau rawabith baina al-ayat(korelasi antar ayat). Disebutkan pada ayat sebelumnya, ayat ke-32, akan larangan iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian atas yang lain, karena Allah telah menetapkan apa yang menjadi bagian kaum laki-laki dan apa yang menjadi bagian kaum perempuan.
Beliau menjelaskan makna qawwāmūn pada Annisa 34 berarti “umarā ‘alaiha” atau pemimpin bagi si istri, dan juga penjelasan mengapa al-Rijal-lah yang mendapat gelar qawwāmūn. Ia berkata karena adanya 2 alasan, pertama, Allah telah melebihkan kaum laki-laki pada akal, ilmu, kekuasaan, dan bukan pada derajatnya— karena orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang bertakwa. Dan alasan yang kedua karena laki-lakilah yang bertugas menafkahi wanita, mulai dari mahar, biaya keseharian, dll.
Disinggung pula oleh beliau pandangan Islam terhadap wanita. Beliau menyebutkan bahwa tugas wanita itu adalah hifzh ‘an al-nasal wa tarbiyat al-aulād (menjaga keturunan dan mendidik anak-anak), adapun tugas laki-laki adalah hifz al–amn
i wa al–māl (menjaga keamanan dan harta). Karena Allah telah menempatkan fitrah tersebut kedalam diri keduanya.
Terakhir beliau menegaskan bahwa Allah telah menetapkan keadilan bagi laki-laki dan perempuan, karena keadilan itu adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya. “Ketika seorang wanita menjalankan fitrahnya sebagai seorang tarbiyatul al-aulād maka sudah cukup. Ia dapatkan kemuliaan dan kebaikan darisana,” tutup Muharikah.
Rep : Ayu Husni
Red : Bana Fatahillah
Jangn lupa tinggalkan jejakmu!
Dilihat: 31