Lebih dari itu, akidah Aswaja ini juga dianggap tak mampu menjadi pendorong bagi dinamika peradaban yang hadir dalam bingkai modernitas.
Masisir Kembali Berkarya,Disertasi Ilmu kalam Di Bedah
Aspek Humanis dalam “Diskursus Ilmu Kalam Perspektif Kaum Asy’arian; Pembacaan Kontemporer atas Urgenitas Akidah Ahlussunnah wal Jama’ah”- Mohammad Yunus Masrukhin, MA secara sederhana, tema yang mencoba diketengahkan—dalam tema/disertasi ini—merupakan usaha untuk menjawab sejumlah kritikan yang mengemuka dari beberapa kalangan akademis dalam diskursus pemikiran Islam kontemporer.
Sejumlah kritikan itu, meski bertitik tolak dari sudut pandang yang beragam, tetapi kesemuanya bertemu dalam satu pokok pandangan bahwa, akidah Ahlussunnah wal Jama’ah (selanjutnya disingkat Aswaja) yang mayoritas bermazhab Asy’ari telah kehilangan kemampuannya dalam menjalankan fungsinya, yakni fungsi teologis yang menjadi etos manusia kontemporer untuk menemukan nilai kemanusiaan yang kontemporer.
Lebih dari itu, akidah Aswaja ini juga dianggap tak mampu menjadi pendorong bagi dinamika peradaban yang hadir dalam bingkai modernitas.
Lebih dari itu, akidah Aswaja ini juga dianggap tak mampu menjadi pendorong bagi dinamika peradaban yang hadir dalam bingkai modernitas.
Dengan demikian, dalam pandangan mereka, Aswaja—terutama yang dihadirkan oleh kaum Asy’arian—telahkehilangan urgenitasnya, sehingga ia tak lagi relevan untuk hadir dalam diskursus pemikiran Islam kontemporer. Pada gilirannya, ia harus diganti dengan bentuk-bentuk pemikiran teologis lain yang dianggap mampu menyesuaikan diri dengan kondisi—sejak dari yang radikal kiri sampai pada yang radikal kanan.
Untuk menjawab tantangan teologis kontemporer tersebut, Aswaja (yang dirunut sejak dari Imam Abu Al-Hasan Al-Ash’ari [w. 324 H./936 M.] sampai pada generasi Asy’arian kontemporer) yang dibaca secara kontemporer merupakan titik mula usaha pembuktian bahwa ia adalah pemikiran teologis yang tanggap atas polemik diskursif. Ia siap untuk diukur dengan syarat-syarat keabsahan pemikiran yang marak pada masa kontemporer, tanpa harus mengalami keterputusan dengan keabsahan yang telah diraihnya dari syarat-syarat diskursif yang ada dalam tradisi teologis sebelumnya.
Dengan menitik-beratkan pembacaan pada kesadaran teologis dari bangunan pemikiran yang ada dalam Aswaja, tema/disertasi ini berusaha untuk menyoroti relasi manusia dalam beragam dimensi. Secara umum, ragam dimensi tersebut bisa dibagi menjadi tiga: 1) dimensi ontologis; 2) dimensi epistemologis; 3) dimensi praktis.
Dimensi ontologis merupakan usaha untuk mencermati kesadaran relasional (bukan kesadaran relatif) manusia dengan Tuhan untuk menemukan keaslian wujudnya di hadapan wujud-Nya, sebagai manusia yang berkehendak atas pilihannya, juga sejumlah kemungkinan yang dimilikinya. Ia merupakan pembuktian atas relasi manusia-Tuhan pada tataran kesadaran wujud dan kebebasan. Dimensi epistemologis merupakan pencermatan kesadaran relasional manusia-Tuhan melalui hadirnya kenabian dalam lingkup kesadaran manusia. Sebuah kehadiran yang merupakan pewartaan tentang bentuk relasi manusia-Tuhan yang lengkap, yang membentuk bangunan pemikiran keagamaan yang menjadi sarana menuju pengetahuan tentang kemanusiaan sejati.
Dimensi praktis merupakan usaha untuk melacak pembuktian hadirnya kesadaran ontologis dan epistemologis dalam tataran kenyataan. Suatu kenyataan yang tak hanya ditunjukkan oleh kemampuan manusia untuk menyadari dan mengetahui relasi-relasi di atas, tetapi juga kemampuannya untuk mengejawantahkan sebagai bentuk keshalehan. Keshalehan merupakan bentuk sikap manusia yang sadar atas pilihannya untuk beriman, yang dibenarkan oleh dua relasi di atas, sehingga pilihan tersebut bisa dikatakan sebagai kehendak untuk beriman.
Iman sebagai bukti kebebasan manusia untuk menunjukkan bentuk kemanusiaannya dalam konteks nyata. Itulah sebabnya, kehendak untuk beriman mengandaikan kesanggupan kesadaran teologis untuk menjalankan segala perintah dan segala larangan Tuhan.Dengan mencermati tiga dimensi tersebut, maka kesadaran manusia yang dihadirkan dalam tradisi teologi Aswaja dari kaum Asy’arian, sejak masa Imam Al-Asy’ari sampai masa kontemporer, merupakan kesadaran teologis yang berimbang. Yakni, keseimbangan yang mampu menautkan dimensi ketuhanan dan kemanusiaan secara padu, sehingga melahirkan bentuk kemanusiaan teologis sebagai bentuk kemanusiaan sejati. Wal-Lâhu al’lam
Jangn lupa tinggalkan jejakmu!