Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai salah satu negara muslim terbesar di dunia. Berdasarkan Royal Islamic Strategic Studies Center (RISSC), ada 231,05 juta warga Indonesia yang memeluk agama Islam atau setara dengan 86,7% populasi warga negara Indonesia secara kesuluruhan (https://dataindonesia.id/ragam/detail/8-negara-dengan-populasi-muslim-terbesar-ada-indonesia). Dengan jumlah yang fantastis ini, kegandrungan masyarakat Indonesia terhadap agama terlihat sangat tinggi dibandingkan negara-negara Islam yang lainnya, seperti halnya Timur Tengah. Dalam data yang disebutkan oleh RISSC pun, Mesir menduduki peringkat keenam di bawah Nigeria.
Dengan begitu besarnya perhatian masyarakat Indonesia akan keberadaan Islam sebagai sebuah agama, maka perdebatan akan isu-isu keagamaan di Indonesia dalam berbagai lini menjadi sesuatu yang tak pernah habis dibincangkan. Tak jarang, perselisihan di dalam masyarakat yang ditimbulkan dari perbedaan pandangan dalam sebuah isu keagamaan menjadi hal yang sering terjadi. Dalam hal ini, sikap-sikap beragama yang cenderung eksklusif dan tertutup menjadi salah satu sebab yang sering terjadi dalam konteks perselisihan internal umat muslim di Indonesia.
Demi menjaga stabilitas kehidupan umat muslim dalam beragama khususnya dan bernegara umumnya, umat muslim diminta untuk memegang prinsip-prinsip keagamaan yang menjunjung tinggi persatuan umat dan kesatuannya dengan menghindari perpecahan. Seperti yang disebutkan dalam hadist Nabi SAW. “Permisalan orang-orang yang beriman dalam cinta, kasih, dan sayang diantara mereka ibarat satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh kesakitan, niscaya seluruh anggota tubuh yang lain akan turut merasakannya dengan tidak bisa tidur pada malam hari dan demam,”.
Dalam hal ini, pemahaman akan akidah dalam beragama menjadi hal krusial yang perlu dijadikan titik tolak bagi para pemeluk agama, khususnya Islam. Kegandrungan atas Islam yang terjadi di Indonesia semestinya memberikan pengalaman beragama yang lebih rukun apabila seluruh komponen di dalamnya memahami secara utuh konsep beragama yang dikehendaki.
Dalam perjalanan sejarah Islam, perpecahan politik dalam tubuh umat muslim pernah terjadi. Perpecahan ini merembet hingga ranah teologis, menyebabkan lahirnya golongan-golongan dengan konsep akidah yang berbeda. Seperti lahirnya Murjiah, Khowarij, hingga Syiah. Pergulatan dalam hal akidah ini terjadi cukup lama, hingga lahirnya Abu al-Hasan al-Asy’ari pada tahun 260H/873M dengan pengikutnya yang dinamai Asy’ariyah dan Abu Manshur al-Maturidi sekitar abad 3H dan para pengikutnya yang dikenal dengan Maturidiyah.
Perbedaan akidah pada beberapa golongan paham teologis tersebut salah satunya didapati dalam pemaknaan atas “iman”. Iman sebagai hal fundamental dalam beragama, dimaknai—secara tidak langsung diyakini pula—secara berbeda. Tentu hal itu berimbas bagi keberlangsungan kehidupan beragama bagi para pemeluknya, sesuai dengan pemahaman teologis yang diyakininya.
Dalam pemahaman Asy’ariyah dan Maturidiyah, iman dimaknai sebagai apa yang diyakini oleh hati dan diucapkan melalui lisan. Dalam hal ini, Maturidiyah berpendapat bahwa berikrarnya seseorang atas keimanannya merupakan syarat dalam penerapan hukum-hukum yang berlaku baginya di dunia, seperti halnya pembagian warisan, pernikahan, sholat, hingga tata cara pemakaman jenazah.
Sedangkan dalam pemahaman akidah menurut Mu’tazilah dan Khawarij yakni; meyakini dengan hati, mengucapkan menggunakan lisan, dan mengerjakan segenap ritual peribadatan.
Perbedaan pemaknaan atas iman seperti dua contoh tersebut secara tidak langsung akan berimplikasi terhadap lahirnya sikap para penganutnya dalam melihat realitas yang dihadapi. Pada para penganut paham teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah, akan terbangunnya hukum-hukum Islam dalam kehidupan beragama dengan tanpa menghukumi keimanan sesamanya. Hukum-hukum Islam tersebut diberlakukan kepada siapa yang mengakui keimanannya.
Sedangkan pemaknaan atas iman yang diusung oleh Mu’tazilah dan Khawarij akan berimbas pada sikap saling mengkafirkan bagi siapa yang tidak mengerjakan segenap ritual-ritual peribadatan. Bagi siapa yang tidak mengerjakan sholat, maka ia sudah dihukumi sebagai seorang kafir dan akan diperlakukan sebagai seorang kafir, tanpa memandang keimanan yang ada dihatinya. Dengan pemaknaan semacam ini, lambat laun perpecahan akan terjadi dimana-mana.
Persoalan akidah seperti yang telah disebutkan merupakan hal pokok yang masih sering luput, dan seharusnya dipahami para penganut Islam, khususnya dalam konteks Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia. Sikap moderat dapat diambil dari paham teologis Asy’ari dan Maturidi untuk kemudian diaplikasikan ke dalam ruang keagamaan di Indonesia. Dan menjauhi sikap-sikap beragama yang dapat mengancam kesatuan dan persatuan umat Islam di Indonesia sebagai kesatuan umat muslim dan kesatuan warga negara Indonesia.
Dangkal