Akhir-akhir ini cuaca sedang tidak menentu, baru kemarin suhu lima belas derajat, hari ini sudah naik setengahnya. Sama tidak menentunya dengan jadwal ujian kenaikan tingkat yang maju mundur. Deretan mobil mengular sepanjang perjalanan, diiringi sahutan klakson yang memenuhi langit kota Kairo. Di ujung jalan, tampak seorang sopir tuktuk1 adu mulut dengan pengemudi mobil yang tidak sengaja menabrak spionnya hingga lepas. Aku menghela nafas, negeri ini memang sering diluar nalar.
Beruntung bus rute distrik sepuluh, tidak sepadat hari-hari biasa. Hanya menyisakan dua kursi kosong, yang baru saja ditinggalkan penumpangnya. Seorang bapak-bapak merunduk membagikan tisu dan kertas dzikir pagi petang, berharap tangan-tangan baik menukarnya dengan dua atau tiga koin.
Sepasang mata mungil menatapku duduk di kursi berisi satu orang, melambaikan tangan sambil tersenyum lebar, seolah dunia bukan tempat yang buruk untuk tinggal. Padahal siapa yang tahu, jika ternyata dia belum makan hari ini.
Aku merogoh saku gamis mencari sisa koin. Tapi, hanya ada tisu kusut bau sabun cuci. Aku lupa, jika ongkos naik bus adalah uang terakhir yang ku punya. Itupun aku dapat pinjaman dari teman serumah. Aku teringat, ada satu roti sarapan dalam ransel yang belum ku makan. Sengaja untuk bekal makan siang.
“Ta’al!” Aku melambaikan tangan memanggilnya.
“Khudz dah.” Dengan malu-malu dia mengambil roti itu, dan beringsut dibalik kaki bapaknya, yang baru saja selesai membagikan tisu.
“Syukron. Allahu yubaariik fiik.” Aku menundukkan kepala, tersenyum. Mengaminkan doa yang diucapnya.
Sudah hampir tiga minggu, sumber kehidupanku belum juga cair. Maka selama itu pula aku terus membohongi ibuku, bahwa aku masih bisa bertahan hidup di negeri orang. Ah, biasanya
juga begitu. Dan aku masih bisa bernafas sampai saat ini, meski hanya dengan roti dan selai setiap hari. Kurang syukur apa aku, dengan nikmat Tuhan yang tidak pernah libur.
Aku membuang nafas, daripada memikirkannya, aku memutar playlist Al Qur’an dalam earphone, sambil mendekap handphone dalam pelukan bersama tas ransel. Bersiap memejamkan mata, beriring angin debu yang melintasi jendela.
“Jangan lupa bersyukur, Maysa,” batinku, menghibur diri. Tersenyum, mengingat ujian diatas ujian.
Turun satu naik seribu, begitulah penumpang yang ada di bus delapan puluh coret. Rute bus yang panjang, menambah penumpang penuh sesak seiring perjalanan. Bukan hanya kota ini saja yang tua, bahkan bus yang kunaiki juga berwajah ringkih. Hingga sampai pada tanjakan, bus tiba-tiba berhenti. Memaksa sebagian isinya untuk turun. Tanpa kusadari, saat beberapa penumpang mulai antri untuk turun satu persatu, ada sepasang mata tajam yang sedari tadi mengawasi.
“Yalla, ya bint! Nazzil.” Kenek bus memberi instruksi, menyuruhku ikut turun. Sambil berteriak agar penumpang bagian belakang juga turun beberapa orang. Tepat saat aku sudah depan pintu bus, lelaki bertampang sangar khas pribumi melancarkan aksinya. Mengambil begitu saja handphone dalam genggamanku.
“HAROMI!!” Teriakku spontan.
Aku panik, ingin berlari mengejar. Tapi kalah gesit dengan mahasiswa Indonesia yang ada dibelakangku. Pandai sekali haromi itu berlari melewati kerumunan yang juga ikut panik, tanpa disangka temannya menyusul dari belakang dengan motor yang melesat cepat tanpa sempat dikejar. Tubuhku gemetar, menggigit bibir membendung air mata yang hampir jatuh. Beberapa mahasiswa Indonesia yang ikut turun mendekatiku.
“Sabar, kak. Insyaallah ketemu hp nya.” Seorang mahasiswi mencoba menenangkanku. Mahasiswa dan penumpang yang ikut mengejar haromi itu kembali dengan tangan kosong.
“Maaf, Maysa. Haromi itu tidak bisa dikejar,” ucapnya, dengan nafas tersengal. Pundakku sudah naik turun, aku gagal membendung air mataku. Para penumpang disekitar
memperhatikan tidak mengerti dengan bahasa yang kami gunakan. Toh, mereka juga tidak bisa berbuat apapun, selain menatapku dengan iba.
“Coba dilacak pakai email, kak.” Sahut mahasiswa lain.
“Ah, iya. Kamu hafal emailnya kan?” Aku hanya mengangguk, memasukkan email ke
handphone yang disodorkan padaku. Dan disaat yang sama, bus sudah berhasil jalan kembali.
“Yalla, ya gama’ah irkab!” Kenek bus menyeru penumpang untuk kembali naik. Menyisakan aku dan mahasiswa yang menlongku.
“Mas, kenal dengan mbak ini kan?” Seorang mahasiswa bertanya sebelum menaiki bus. “Iya, mas. Ini adik kelas saya. Kami satu almamater.”
“Kalau begitu aman ya, mas?” “Aman, insyaallah.”
Baru saja mahasiswa itu naik, turun seorang lelaki paruh baya berbaju setelan rapi. Seperti pernah melihatnya, tapi otakku sudah tidak bisa diajak berpikir.
“Rasyid.” Mahasiswa itu menoleh ke sumber suara. “Ma’dziratan, yaa syeikh. Nasiitu lishaahibika.”8 “Kholaash, laa ba’sa. Shaahibhaa ma’ak.”
“Anaa aasif, yaa syeikh,” Kak Rasyid menepuk tangan kanannya ke dada sambil menunduk. Gaya khas timur tengah meminta maaf.
“Maa fisy musykilah,” Syeikh membisikkan sesuatu ditelinga Kak Rasyid, yang dijawab dengan anggukan kepala.
“Meesyii.”
“Yalla, yaa syeikh!” Kenek bus sudah tidak sabar menunggu, menyuruhnya segera naik.
“Haadhir, yaa baasya.”
“Ishbiri, yaa bintii. Allahu ma’ak,” Syeikh tersenyum menepuk pundak Kak Rasyid, dan bergegas naik bus, sebelum supirnya menekan pedal gas.
“Hp nya bisa dilacak, kak?” Aku menatap Kak Rasyid, berharap ada keajaiban.
“Sebentar.” Kak Rasyid mengecek handphone nya. Dia menggeleng. Aku semakin terisak, bagaimana aku mengabari ibu dirumah?
“Hp kamu sudah mati. Jadi, tidak bisa dilacak.” “Gi..gimana May..sa kabari ibu dirumah, kak?”
“Kakak antar pulang kamu ke rumah dulu, ya? Kamu yang tenang, nanti kakak bantu cari solusinya.”
Bagaimana aku bisa tenang dengan kondisi sekarang? Aku bahkan sudah tidak punya uang sepeserpun. Jangankan utnuk membeli handphone baru, beli permen saja sudah tidak ada. Tidak lama setelah itu, mobil sedan berhenti didepan kami.
“Ayo, masuk.”
Aku hanya diam sepanjang perjalanan, menunduk memainkan jemari, bersamaan dengan air mata yang terus menetes tanpa suara. Mobil berhenti di depan toko eletronik. Padahal tempat tinggal ku berada di komplek sebelahnya. Aku tidak mengerti, menurut ketika diajak turun.
“Kenapa kita berhenti di sini, kak?”
“Ayo, ikut kakak.” Aku berjalan mengikuti langkah Kak Rasyid masuk ke toko elektronik.
Penjaga toko menyodorkan beberapa model handphone sesuai dengan harga yang disebutkan oleh Kak Rasyid.
“Pilihlah salah satu, Maysa.”
“Maysa tidak punya uang, kak.” Aku bingung dengan Kak Rasyid, menyuruhku memilih. “Pilih salah satu, Maysa.” Kak Rasyid mengulangi perkataannya. Aku menggeleng.
“Tidak, kak. Maysa, tidak mau.” Aku hendak berjalan keluar toko. Lebih baik aku pulang, menenangkan diri di rumah daripada harus merepotkan orang lain. Penjaga toko yang melihat kami tersenyum. Seperti pasangan yang sedang dibujuk agar tidak marah lagi.
“Maysa, ini amanat dari Syeikh Ahmad. Kakak hanya mengantarmu kesini. Apa kamu mau menolak pemberian syeikh?” Aku menunduk, kembali meneteskan air mata. Mendengarkan penjelasan Kak Rasyid.
“Tidak apa-apa, Maysa. Syeikh Ahmad pernah bilang, jangan menolak pemberian jika kamu tidak pernah memintanya. Kamu pasti paham itu, kan?”
Ya. Kalimat itu memang sering diucapkan Syeikh Ahmad ketika ada murid yang menolak pemberian darinya. Apapun itu.
“Gimana, Maysa?” Aku mengangguk. Menuruti perkataan Kak Rasyid, memilih salah satu.
“Mungkin tidak sebagus punya kamu yang hilang, tapi cukup untuk mengabari keluarga di rumah dan belajar.”
“Tidak, kak. Ini bahkan lebih bagus dari milik Maysa sebelumnya. Tolong sampaikan terima kasih Maysa ke Syeikh Ahmad.”
“Alhamdulillah. Iya, nanti kakak sampaikan ke syeikh.”
Setelah urusan selesai, Kak Rasyid hanya mengantarku pulang sampai depan gerbang. Memastikanku baik-baik saja dan tidak bersedih lagi. Lalu bergegas pergi, karena harus menyusul Syeikh Ahmad ke tempat mengajar.
Sekenario hari ini benar-benar di luar dugaan. Roller coaster menegangkan sekaligus menakjubkan. Tidak ada yang bisa merasakan sensasi keseruannya, kecuali orang yang menaikinya. Entah, kejutan apa lagi yang akan datang besok, besoknya lagi, dan lagi. Benarlah kata orang, negeri ini dipenuhi dengan segala kebaikan penghuninya seperti Nabi Musa, namun juga tidak luput dari Fir’aun didalamnya.
Penulis: Anasti Juwita