الملخص
لماذا تأخر المسلمون و تقدم غيرهم؟ هذا السؤال يكون وظيفتنا اليوم لبحث عميق عن دور المسلمين فى عصر ألفين. كأن المسلمون فقدوا حكهم لأرشدهم فى مشيتهم. حينما غيرهم اشتغلوا في توليد العلوم الجديدة لمصلحة عامة الناس و تكون حضارتهم اولي من حضارتنا بحسب المادية. قد اشتغلوا المسلمون بإختلافهم في أمور الجزئيات و الفرعية.ما هو السبب الذي يسبب تأخر المسلمون؟ تأخر حضارة المسلمون بسبب الغلط في كيفية تفكير المسلمين عن الحياة. لماذاتأخر؟ و حقيقة الإسلام لا تكون كذالك, لأن الإسلام وضع نقطة الإنطلاق لبناء حضارة الكبيرة. قد عرفنا أن كرة النهضة الإسلام تدور العالم. و نتيجة على ذالك, احد الحلّ لإصلاح حضارتنا هو اصلاح كيفية تفكيرهم بتقديم ما حقه التقديم و يؤخر ما حقه التأخير. و لذالك اختر الكاتب المبحث عن الفقه الأولويات لأحد الجهد لإصلاح فكرة المسلمين.
Abstrak
Mengapa Umat Islam terbelakang dan orang-orang non muslim justru berkembang? Soal ini menjadi tugas kita bersama untuk memandang peranan umat muslim pada era milenium kedua. Umat muslim seakan kehilangan kompasnya disaat melangkah, dikala orang-orang non muslim justru sebaliknya meniti karir kejayaan. Apa yang menyebabkan hal itu terjadi? Salah satu sebab ketertinggalan umat Islam dari peradaban lain adalah cara umat muslim berpikir tentang hidup. Ketika peradaban lain sibuk melahirkan karya-karya untuk kehidupan manusia, umat muslim justru disibukkan dengan pertikaian antar saudara. Padahal, ajaran Islam telah menetapkan batu pijakan untuk mewujudkan peradaban yang besar.Sejarah mencatat bahwa bola kejayaan Islam berputar menghiasi dunia dalam masa keterpurukan .Oleh karena itu, salah satu solusi untuk memperbaiki peradaban umat Islam saat ini adalah dengan memperbaiki pola pikirnya. Mengedepankan apa yang perlu untuk dikedepankan, serta mengakhirkan apa yang perlu ditangguhkan. Maka Penulis mencoba untuk memaparkan pembahasan fiqh awlawiyyât sebagai salah satu upaya rekonstruksi pemikiran umat muslim.
Kata kunci: prioritas, pertimbangan, realita, maslahat, mafsadat
PENGANTAR
Peradaban Islam telah memberikan sumbangsih yang jelas bagi kebangkitan Eropa.Melalui Andalusia dan Cordoba, Islam menyatukan antara kebudayaan Timur dan Eropa dan mengantarkan mereka pada era renaisan. Hal ini ditengarai dengan adanya transfer pengetahuan dari pelbagai bidang seperti: kedokteran, sastra, astronomi ke Eropa. Disamping itu, penerjemahan literatur dari berbagai wilayah yang berkembang pesat pada masa itu, seperti: Yunani, Persia, Iberia telah menggoreskan garis permulaan kebangkitan di Eropa. Oleh karena itu, peradaban Islam ikut serta berkontribusi dalam penyelamatan Eropa dari kegelapan abad pertengahan ke era renaisan.
Seiring berjalannya waktu, khilafah Utsmani pun berakhir, dan sebaliknya, peradaban Eropa pasca revolusi Perancis dan revolusi Industri di Inggris mengalami perkembangan yang pesat.Keruntuhan khilafah Utsmani tersebut sering dikatakan sebagai titik tolak kemunduran umat Islam.Selanjutnya, umat Islam lebih terlihat mengepigoni atau membebek pada peradaban yang dulu diselamatkan olehnya. Tak Ayal jika Albert Hourani dalam mukadimah bukunya al-Fikr al-‘Arabî fî ‘Asr Nahdhah memaparkan aspek-aspek apa saja yang harus diambil dan ditinggalkan oleh umat Islam dari peradaban Barat untuk menghidupkan tatanan sosialnya. Kondisi tersebut juga dipertanyakan oleh Syekh Syakib Arslan , apakah masih tersisa semangat pembangunan sebagaimana masa lalu dan umat muslim tertinggal? Atau saat ini ajaran Islam dipahami dan berputar pada ranah simbolitas saja? Pertanyaan-pertanyaan ini semakin dikuatkan dengan pernyataan Muhammad Abduh bahwa ia melihat kaum muslimin di Timur tanpa kehadiran Islam, sedangkan ia melihat Islam di Barat tanpa kehadiran kaum muslimin.
Terdapat beragam alasan mengenai penyebab kemunduran umat Islam. Dari sekian ragam penyebab yang ada, penulis hanya mencoba menelisik tentang metode berpikir yang menyebabkan muslim menjadi mundur dan terbelakang, yaitu terkait runtutan cara berpikir dan bertindak dengan cara melihat pertimbangan prioritas. Inilah yang biasanya disebut fikih prioritas. Aspek apa sajakah yang harus dikedepankan oleh umat muslim saat ini untuk mengembalikan kejayaannya? Bagaimanakah cara memprioritaskan antara pelbagai hal yang muncul dalam realitas? Aspek mana yang lebih dikedepankan dan aspek apa saja yang seharusnya ditangguhkan? Pola pemikiran demikian dianggap perlu untuk dikaji mengingat banyak umat muslim kehilangan ‘timbangan personal’ menurut bahasa penulis, dalam bertata perilaku mengatur ritme hidup yang dijalaninya. Sehingga dengan konsep berpikir pemprioritasan atau dalam bahasa Syekh Yusuf Qaradhawi disebut fiqh awlawiyyât, umat muslim dapat melangkah lebih proporsional dalam berpikir.
PEMBAHASAN
Definisi Fiqh Awlawiyyât(فقه أولويات)
Term fiqh awlawiyyât mulai dikenal dipanggung dunia sejak diperkenalkan oleh Syekh Yusuf Qaradhawi dalam bukunya Fî al-Fiqhi al-Awlawiyyât. Sebelum term ini berkembang, terdapat embrio yang melatar belakangi terbentuknya istilah fiqh awlawiyyât, yaitu pembahasan beliau dalam kitab as-Shahwah al-Islâmiyyah baina al-Juhûd wa at-Tatharruf tentang fikih tahapan-tahapan amal (فقه مراتب الأعمال). Kendati demikian, hakikatnya konsep prioritas sudah inheren dengan ajaran Islam itu sendiri, meskipun secara penamaan masyhur di era kontemporer oleh Syekh Yusuf Qaradhawi.
Definisi fiqh awlawiyyât secara etimologi berasal dari gabungan dua kata, yaitu kata فقه yang bermakna pegetahuan atau pemahaman akan sesuatu dan kata الأولوية yang berasal dari kata اولى yang merupakan isim tafdhîl yang berarti (احق) lebih berhak dan (احرى) yang lebih utama .Sedangkan secara terminologi, definisi fiqh awlawiyyat menurut Syekh Yusuf Qaradhawiadalah meletakkan segala sesuatu sebagaimana posisi semestinya dengan tidak mengakhirkan sesuatu yang seharusnya dikedepankan dan mengedepankan sesuatu yang seharusnya diakhirkan serta tidak mengecilkan perkara yang besar dan membesarkan perkara yang kecil.
Latar belakang Kemunculan Fiqh Awlawiyyât dan Urgensitasnya di Era Kontemporer
Menurut Muhammad
al-Wakili, secara garis besar penyebab kemunculan fiqh awlawiyyât terbagi menjadi dua.Pertama, munculnya kekacauan dalam runtutan amal perbuatan, seperti lebih mengedepankan bidang yang seharusnya ditangguhkan atau meremehkan perkara-perkara yang lebih urgen.Lebih mengedepankan simbolitas dibandingkan dengan esensi dari amal tersebut. Ataupun membuka luas pintu pertentangan dan mewacanakan ulang khilaf yang sudah dimaklumi terjadi di berbagai ranah yang memang jelas dipertentangkan sejak zaman sahabat .
Kedua, tuntutan keadaan untuk membentuk konsep tingkatan-tingkatan amal dan pemprioritasan dalam amal tersebut.Disamping itu, pola ajaran Islam sejatinya diajarkan secara berangsur-angsur dan dengan pola pemprioritasan yang terstruktur.Sebagaimana kita mendapati beberapa hukum seperti meminum minuman keras, atau memakan harta riba yang pelarangan keduanya berangsur-angsur.Revitalisasi konsep prioritas merupakan kebutuhan yang mendesak di era ini.
Menjalankan seluruh ajaran Islam dalam kehidupan merupakan hal yang sulit dikarenakan kemampuan manusia yang terbatas. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Fahmi Huwaidi bahwa ia tidak menyerukan agar umat Islam mengamalkan seluruh amalan yang terdapat dalam Islam atau meninggalkannya. Akan tetapi, ia hanya menegaskan dengan melihat keterbatasan yang dimiliki oleh manusia, seyogyanya kita harus menggunakan konsep prioritas atau tahapan dalam bertindak. Mengedepankan yang lebih urgen dari yang penting hingga mencapai tujuan dengan jelas dan menentramkan hati.Pendapat ini diperkuat oleh Syekh Said Hawa dalam kitabnya Ihyâ`ar-Rabbâniyyah yang menyerukan bahwa konsep dakwah pada saat ini membutuhkan landasan prioritas untuk mencapai tujuan yang dikehendaki dengan sedikit kerugian dan berlimpahnya keuntungan.
Jejak Fikih Prioritas di Panggung Sejarah
Istilah fiqh awlawiyyât menjadi masyhur pasca diterbitkannya kitab Fî al-Fiqhi al-Awlawiyyât. Dalam kitab tersebut, Syekh Yusuf Qaradhawi hanya merapikan ulang konsep prioritas dan berusaha menstimulasi umat muslim agar tersadar dengan konsep berpikir mereka. Sejatinya sejak zaman Rasulullah konsep tersebut telah teraplikasi dalam metode dakwahnya. Hal ini ditelisik dari bentuk prioritas dari kacamata sejarah, bentuknya berbeda-beda sesuai dengan kondisi pada zaman tersebut. Maka tak ayal kita temui produk fatwa berbeda-beda dari masa ke masa hal ini tidak lepas dari lima aspek yang disebut oleh Ibnu Qayyim al-Jauzidalam kitab I’lâmul Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn yaitu: zaman, tempat, kondisi, niat, dan juga manfaat.
Contoh-contoh fikih prioritas ditinjau dari setiap masa, penulis kelompokkan menjadi empat:
a. Zaman Rasulullah
Banyak sekali model prioritas yang dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW. Jika berinteraksi dengan hadis-hadis beliau lebih mendalam, kita akan sering mendapati sabda beliau tentang semulia-mulianya amal, atau amal yang paling dicintai oleh Allah, seperti :أحب الأعمال إلى الله أدوامها و إن قلّ. أفضل الجهاد كلمة حق عند إمام جائر , Demikian pula dalam perkara-perkara yang tidak terpuji dan harus dijauhi, nabi Muhammad memberi tingkatan-tingkatan juga, sepertiأبخل الناس: من بخل بالسلام . Pertanyaanya, mengapa kedua aspek baik dan buruk beliau paparkan? Hal ini dikarenakan sabda-sabda nabi Muhammad diatas menjadi kompas bagi umat muslim untuk melangkah dan menjadi timbangan agar tidak terjatuh pada hal-hal yang paling buruk.Karena manusia tidak luput dari kesalahan, sehingga sabda tersebut juga berfungsi meminimalisir umat muslim jatuh ke jurang keburukan yang lebih rusak.
b. Zaman Khulafâurrâsyidîn
Pada zaman Khulafâual-râsyidîn corak prioritas antar personal sahabat berbeda-beda. Kita sering menemukan kontradiksi pendapat antar sahabat dalam satu perkara seperti perintah Abu Bakar untuk membunuh muslim yang memisahkan antara shalat dan zakat. Hal ini dikarenakan sholat dan zakat saling berkelit kelindan.Umar Ibn Khattab justru berpendapat sebaliknya, karena kalimat syahadat masih terpatri dalam diri orang-orang yang memisahkan shalat dan zakat, maka tidak diperbolehkan untuk dibunuh.Ketika dikomparasikan antara kemaslahatan dan kemudharatan yang dihasilkan, ternyata lebih besar kemaslahatan yang tercipta. Maka konsep prioritas yang terwujud melalui keputusan Abu Bakar tersebut diterima oleh para sahabat.
Pada zaman Umar Ibn Khattab terlihat penerapan fikih prioritas dalam masalah hukuman pencurian.Beliau mengambil keputusan untuk tidak memotong pemuda yang mencuri unta, dengan mempertimbangkan kondisi pada masa itu, dimana paceklik dan kelaparan melanda dunia Arab sehingga memaksa pemuda tersebut untuk melakukan pencurian itu. Kondisi ini merupakan pengecualian di masa Umar .
Pada masa Utsman Ibn Affan pun konsep prioritas senantiasa berlaku.Hal ini terlihat ketika kodifikasi al-Quran terlaksana pada zaman beliau. Adapun penyebabnya adalah kekhawatiran akan orang-orang yang berdusta dengan dalih perkataannya merupakan quran dan sunah pada era sebelum masanya. Namun, kekhawatiran ini dipertimbangkan kembali dengan melihat kondisi tentang pentingnya kodifikasi Quran dan terbukanya umat Islam dengan mengajarkan segala sesuatu yang mereka ketahui tentang disiplin ilmu tertentu.
Pada masa Ali Ibn Abi Thalib, penerapan fikih prioritas jugaditerapkan.Konsep jaminan dalam istishnâ’ merupakan format baru pada masa kekhilafan Ali RA.Karena pada asalnya istishnâ’ tidak memerlukan adanya barang jaminan di dalam akadnya, dan asasnya adalah kepercayaan antar kedua belah pihak.
c. Zaman Klasik
Pada zaman pasca para sahabat, para Salaf saleh meneruskan konsep prioritas dalam mengambil tindakan terkait pandangannya terhadap suatu perkara.Tindakan yang diambil pun dilatarbelakangi oleh bidang yang mereka tekuni, seperti contoh permasalahan ketika seseorang berada dalam masa dan wilayah yang di dalamnya dipenuhi maksiat dan kerusakan.Para ulama dari tarikat Sufi memilih agar orang tersebut pergi dari wilayah tersebut sebagai penjagaan diri dan tidak terjerumus ke dalam sumur kerusakan.Sementara para mujahid , cenderung berpendapat untuk tinggal dan bercampur dengan kondisi tersebut dan berusaha melakukan perubahan.Sementara itu Imam Ghazali menimbang kemaslahatan yang didapatkan antara menetap atau meninggalkan wilayah tersebut.
Dari sini dapat kita lihat, pola para ulama dalam melihat suatu perkara.Latar belakang bidang yang ditekuni dan prioritas yang dikedepankan oleh masing-masing pihak merupakan wujud kontekstualisasi pemahaman mereka terhadap bidang yang mereka tekuni sebagai respon terhadap suatu permasalahan.
d. Zaman Kontemporer
Pada era kontemporer, fikih prioritas lebih dikemas dalam bingkai yang lebih universal dan dalam bidang tertentu.Jika pada masa klasik umumnya prioritas ditinjau dari permasalahan-permasalahan parsial yang kemudian dikritisi oleh para ulama pada masa itu, pada masa kontemporer corak prioritas lebih mendalam dalam bidang garapan yang universal, seperti pendidikan, jihad, akidah,dll.Maka dari itu kita mengenal Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahab dalam upaya penjagaan akidah dan memerangi khurafat di Saudi Arabia.Lantas di Sudan dikenal Syekh Zaim Muhammad Ahmad al-Mahdiyang corak pemprioritasan dalam bidang jihad.Syekh Jamaluddin al-Afghani dalam upaya-upaya pembangunan umat, syekh Muhammad Abduh dalam upaya pembebasan dari belenggu-belenggu taklid, dan masih banyak lagi para ulama yang tetap memperhatikan konsep prioritas di berbagai masa dan wilayah.
Fiqh awlawiyyât sejak zaman Rasululah hingga pada masa kontemporer selalu mengikuti alur kondisi para zaman tersebut.Tujuannya adalah demi kemaslahatan manusia ditengah keterbatasan yang dimiliki olehnya, sehingga dapat memiliki timbangan yang jelas dalam mengambil tindakan.
Korelasi Fiqh Awlawiyyât dengan Fikih Lain
Fiqh awlawiyyâtmemiliki keterkaitan dengan beberapa fikih lain, diantaranya:
1. Keterkaitan fiqh awlawiyyât dengan fiqh al-muwâzanah
Fiqh awlawiyyât berkaitan erat denganfiqh al-muwâzanah. Hal ini tidak dapat dipungkiri, mengingat aspek muwâzanah (pertimbangan)merupakan bagian yang integral dalam tahapan prioritas. Adapun definisi muwâzanah secara etimologi berasal dari kata وزن yang bermakna pengetahuan terhadap kadar sesuatu. Kata وزن juga memiliki makna lain, yaitu penaksiran dan pertimbangan. Sedangkan secara terminologi pengertian muwâzanah adalah perbandingan antara maslahat dan mafsadat yang saling bertentangan untuk mengedepankan atau mengakhirkan (aspek) mana yang lebih utama untuk dikedepankan atau diakhirkan.
Hubungan yang paling konkrit di antara fiqh awlawiyyât dengan fiqh al-muwâzanah adalah peranan pertimbangan dan perbandingan dalam fiqh al-muwâzanah antar entitas sebelum menetapkan bahwa entitas yang satu lebih utama atau lebih prioritas dibandingkan entitas yang lain.
Syekh Yusuf Qaradhawi memaparkan tiga aspek mendasar dalam muwâzanah, yaitu:
1. Perbandingan antar kemaslahatan
2. Perbandingan antar kerusakan
3. Perbandingan antara kemaslahatan dan kerusakan dalam satu perkara
2. Keterkaitan fiqh awlawiyyât dengan fiqh al-maqâshid
Hubungan antara fiqh awlawiyyât dengan fiqh al-maqâshid seperti halnya hubungan antara kendaraan umum dan destinasi yang hendak dicapai. Dengan kendaraan fiqh awlawiyyât diharapkan tujuan dari pensyariatan agama Islam dapat tercapai. Adapun pengertian maqâshid secara etimologi bermakna maksud serta tujuan.Menurut Syekh Thahir Ibn Ashur pengertian maqâshid secara terminologi adalah makna-makna dan hukum yang dikehendaki oleh Allah baik didalam seluruh aspek pensyariatanatau sebagian besar tanpa pengkhususan pada jenis aspek syariah tertentu.
Dalam memberikan beban hukum kepada manusia, Allah senantiasa memperhatikan kondisi dan kapasitas hamba-Nya yang terbatas.Oleh karena itu, pensyariatan selalu melangkah dalam koridor penjagaan maqâshid al-syarî’ah.Menurut Imam Syatibi, maqâshid al-syarî’ahsebagai upaya mengimplementasikan maslahat terbagi menjadi tiga bentuk.Bentuk-bentuk inilah yang sangat berkaitan erat dengan fiqh awlawiyyât sebagai tolak ukur untuk menimbang kemaslahatan dan juga kemafsadatan suatu hal.Sehingga dengan demikian, pemprioritasan suatu hal berangkat dari tolak ukur yang jelas. Adapun bentuk-bentuk maqâshid al-syarî’ahyaitu:
1. Dharûriyyah (primer)
Dharûriyyahdisini bermakna segala sesuatu yang dengan wujudnya akan tercipta kemaslahatan dunia dan agama, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan.
2. Khâjiyyâh (sekunder)
Khâjiyyâhbermakna segala sesuatu yang wujudnya dibutuhkan tetapi jika tidak terpenuhi berdampak pada kesulitan dalam menjalani hidup, seperti keringanan untuk berbuka puasa ketika safar.
3. Tahsîniyyâh (tersier)
Tahsîniyyâhdimaknai segala sesuatu yang wujudnya sebagai pelengkap, dan umumnya dalam hal tata perilaku dan akhlak, seperti tata perilaku dalam bertindak yang baik.
Menurut Jasr Audah, maqâshid dapat diketahui dengan kita berdilaog dengan nas-nas syariah dengan menggunakan satu kata yaitu “mengapa” (لماذا)? Mengapa salat termasuk rukun Islam?Mengapa Islam mengharuskan berbuat baik pada tetangga?Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi landasan untuk mengetahui maqâshid al-syarî’ah. Langkah pemprioritasan juga berpijak dari kata tersebut, karena tujuan dari syariat itu sendiri untuk kemaslahatan manusia.
4. Keterkaitan fiqh awlawiyyât dengan fiqh al-wâqi’
Fiqh al-wâqi’ secara gamblang memberikan gambaran mengenai situasi dan kondisi dalam penerapan suatu hukum. Hal itu tentunya dipengaruhi oleh pergantian waktu, tempat,adat, dan juga keadaan. Secara ekplisit, keterkaitan fiqh al-wâqi’ dengan fiqh awlawiyyâtadalah keelastisitasan kedua fikih tesebut dalam berdialektika dengan berbagai hal.Oleh karena itu, prioritas setiap masa terkadang berbeda dengan masa sepeninggalnya.Hal ini disesuaikan dengan keadaan realita pada masa tersebut.Menurut Ahmad Bu’ud, pengertian fiqh al-wâqi’ adalah pengetahuan yang mendalam terhadap segala sesuatu yang mencakup kehidupan manusia, baik yang kontradiktif dengan kehidupan manusia, maupun yang integral dengan kehidupan manusia.
Fiqh awlawiyyât, fiqh al-muwâzanâh dan fiqh al-maqâshid tidak dapat terwujud tanpa peranan fiqh al-wâqi’. Hal ini dikarenakan sebelum proses pemprioritasan terlaksana, seseorang dituntut untuk mengetahui secara detail perkara yang ia hadapi, sehingga dapat ia timbang apakah hal tersebut sesuai dengan maqâshid al-syarî’ahatau justru bertentangan dengannya. Jika tidak melalui tahapan ini, prioritas mungkin terjadi namun tidak sesuai dan mampu menjawab realita di lapangan demi kemaslahatan manusia.Pola prioritas antar personal berbeda-beda sesuai kondisi yang dihadapinya.
Simpulan
Konsep
prioritas merupakan konsep berpikir secara matang sebelum mengambil suatu keputusan.Keterbelakangan umat Islam salah satu sebabnya berawal dari kesalahan dalam konsep ini. Prioritas bukan berarti menyepelekan suatu perkara dengan perkara yang lain, seperti lebih mengedepankan ilmu agama ketimbang ilmu sains, begitu juga sebaliknya. Akan tetapi, prioritas disini adalah peta umat muslim dalam menentukan alur langkah hidupnya dengan mengambil manfaat terbesar di setiap keputusan hidupnya. Tidak terdapat unsur penyepelean di dalamnya, mengingat segala aspek kehidupan saling berkelit kelindan dan umat muslim ditengah keterbatasan sebagai manusia berusaha melakukan tindakan yang terbaik. Oleh karena itu, prioritas justru sebagai kompas hidup dalam melangkah.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ajwah,Husain Ahmad. 2005.Fiqh al-Muwâzanah baina al-Mashâlih wa al-Mafâsid wa Dawruhu fi Raqqy bi al-Da’wati al-Islâmiyyah. Gaza: Jâmi’ah al-Aqsa.
Al-Jauzi,Ibnu Qayyim. 2000. I’lâmul Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn. Jedah: Dâr Ibn al-Jauzi .
Al- Kattani, Abdul Hay. 2005.Al-Islâm fî al-Fikri al-Gharbî, terj. Lathifah Ibrahim Khadar. Jakarta: Gema Insani Press.
Al- Qaradhawi, Yusuf. 2008Dirâsatun fî Fiqh al-Maqâshid al-Syarî’ah.Kairo:Dâr al-Syurûq.
__________________. 2009.Mûjibât Taghayyur al-Fatwa fî ‘Asrinâ.Kairo:Dâr al-Syurûq.
__________________. 2012. Fî Fiqhi al-Awlawiyyat Dirâsatun Jadîdatun fi Dhaw` al-Qurân wa al-Sunnah . Kairo: Maktabah Wahbah.
Al-Sahud , Ali Ibn Nayif . 2009. Al-Khulâshah fî Fiqh al-Awlawiyyât. Bahang: Dâr al-Ma’mûr.
Al-Syatibi ,Abu Ishaq.Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Fiqh ditahkik oleh Abdullah Darraz. Kairo:Bibliotica Alexandria
Al-Wakili, Muhammad. 1997.Fiqh al-Awlawiyyât Dirâsatun fî Dhawâbith. Virginia: Ma’had al-‘Âlamî li al-Fikr al-Islâmi.
Ali Karbuli,Abdussalam ‘Iyadah. 2008.Fiqh al-Awlâwiyyât fî Dzilâli Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah .Damaskus: Dâr Thayyibah.
Audah, Jasr.Maqâsid al-Syârî’ah Dalîl Li al-Mubtadiîn.Virginia:Ma’had al-Âlamî li al-Fikri al-Islâmî.
Audah, Jasr. 2006. Fiqh al-Maqâshid Inâthatul Akhkâm al-Syar’iyyah bi al-Maqâshidiha. Virginia: Ma’had al-Âlamî li al-Fikri al-Islâmî.
Ibnu Mundzir.Lisân al -‘Arab.Kairo:Dâr al- Makrifah.
Harb, Ali. 2012.Asilah al-Haqîqah wa Rahânat al-Fikr: Muqârabat Naqdiyyah wa Sijâliyyah, terj. Umar Bukhory,Ghazi Mubarak. Yogyakarta: IRCiSoD.
Hourani, Albert.al-Fikr al-‘Arabî fî ‘Asr Nahdah 1798-1939, terj. Karim Aschole. Beirut: Dâr Nahâr.
Ibn Abdul Wahab,Ya’kub. 2011.al-Mufashal fî Qawâ’id al-Fiqhiyyah , (Riyadh:Dâr Tadmuriyyah.
Jazari,Umar Luthfi. 2011.Fiqh al-Tamkîn wa atsaruhu fî Tathbîq al-Akhkâm al-Syar’iyyah. Gaza: Jâmi’ah al-Islâmiyyah Ghazza.
Jughaim ,Nu’man. 2001. Thuruq al-Kasyfi ‘an Maqhâsid al-Syâri’. Urdun: Dâr al-Nafâis.
Syakib Arslan, Amir.Limâdza Taakhara al-Muslimûn wa Taqaddama Ghairuhum. Beirut: Dâr al-Maktabah al-Hayât
Zuhaili,Wahbah. 2009.Al-Mu’âmalah al-Mâliyah al-Mu’âshirah. Damaskus:Dâr al-Fikr.
Penulis: Muhammad Fardan Satrio Wibowo
vr_seventz41@yahoo.co.id