“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan’’. Penggalan QS. al-`Alaq tersebut merupakan ayat sekaligus wahyu pertama yang diterima oleh Nabi SAW. Ayat yang diawali dengan redaksi “Bacalah” ini menjadi tonggak kemajuan peradaban dunia. Betapa tidak, di dalamnya terdapat suatu isyarat bagi manusia untuk menguasai ilmu pengetahuan. Ia merupakan kunci dari sebuah kemajuan. Selain itu, setiap individual manusia memiliki sudut pandang dan tendensi yang berbeda dari sebuah pengetahuan. Maka untuk mengakomodir dan mencetuskan kemajuan peradaban dibutuhkan pengetahuan konprehensif.
Dari uraian di atas, kita temukan bahwa kemajuan erat kaitannya dengan pengetahuan. Begitu juga pengetahuan, ia akan sulit didapat tanpa membaca. Kemajuan, pengetahuan, dan membaca memiliki koherensi yang cukup kuat, dan memposisikan buku sebagai salah satu objeknya; membaca tidak sekadar dari buku. Selain berfungsi meningkatkan kemampuan intelektual, buku juga dapat membentuk pola pikir manusia menjadi lebih terbuka. Misalnya dengan kebiasaan membaca akan terbangun kerangka berpikir yang sitematis.
Namun, dewasa ini minat baca buku cenderung menurun dan dapat dibuktikan dengan beberapa persoalan. Pertama, jarang ditemukan anak kecil yang mengisi waktu luang dengan buku cerita. Begitu pula para remaja yang nongkrong di cafe untuk baca buku. Kedua, era digital yang telah merasuki berbagai lini kehidupan manusia. Mereka lebih memilih gadget dijadikan teman daripada buku, yang sepantasnya menjadi sahabat terbaik di setiap waktu. Meski tak dapat dimungkiri bahwa gadget juga bisa sebagai sarana baca. Walaupun realitanya bacaan tidak lebih diminati dari youtube dan instagram.
Hal ini benar adanya, bahkan terdapat pengakuan bahwa mereka akan membuka situs bacaan hanya ketika ada tugas sekolah. Untuk menyelesaikan tugas tersebut mereka juga lebih memilih gadget sebagai sarana baca daripada buku. Hal tersebut dikarenakan gadget lebih mudah digunakan sebagai alat baca, yaitu hanya dengan menggeser layar saja akan menemukan apa yang dicari, tanpa harus menjelajahi buku demi buku untuk menemukan bahan bacaan yang sedang ia cari. Inilah salah satu alasan mengapa membaca melalui gadget lebih diminati daripada buku.
Menurunnya minat baca menyebabkan sebagian manusia enggan membeli buku. Alasannya, ia akan melakukan hal sia-sia jika hanya membeli buku saja tanpa membaca; di samping itu, alasan bahwa buku digital lebih mudah diakses dari buku cetak yang harus menggunakan uang. Stereotip seperti ini yang terkadang membuat para penuntut ilmu terpengaruh bahkan menciptakan stereotip baru, bahwa membeli buku akan jadi pajangan di lemari saja. Stereotip-stereotip yang muncul inilah yang tak jarang membuat penuntut ilmu berulang kali berpikir sebelum membeli buku, memikirkan apakah buku yang dibeli akan dibaca?
Sebagian ada yang membantah stereotip ini. Mereka mengatakan bahwa langkah awal yang dilakukan adalah membeli terlebih dahulu dengan niat akan membacanya pada suatu saat nanti. Sebagian yang lain menambahkan bahwa jika ajal datang lebih dahulu dan menafikan kesempatan kita untuk membacanya, setidaknya kita pernah berniat untuk membaca. Jawaban tersebut sah-sah saja.
Namun, dalam kitab Safahat min Shabri al-Ulama’ terdapat jawaban yang lebih menarik dalam menampik stereotip-stereotip tersebut, dikisahkan ketika itu Syekh `Abd al-Fatah menyelesaikan pencetakan buku al-Ajwibah al-Fadhilah li al-As`ilah al-`Asyarah al-Kamilah milik Imam Abd al-Hay al-Laknawi al-Hindi yang di-tahqiq olehnya. Dia berniat menghadiahkan buku tersebut kepada sebagian gurunya di Madinah Munawwarah. Salah satunya adalah Syekh Muhammad Badr `Alam al-Merethe.
Ketika Syekh `Abd al-Fatah berkunjung ke rumah gurunya dengan membawa buku tersebut. Sesampainya di rumah gurunya, Ia melihat gurunya sedang terbaring di atas kasur karena menderita penyakit strok. Kondisi tersebut menghambat rutinitas kesukaannya; mengkaji kitab dan menemukan kemuliaan di dalamnya. Kemudian, Syekh Abdu al-Fatah memberikan buku tersebut kepada gurunya.
Syekh Muhammad Badr `Alam al-Merethe menerima pemberian tersebut dengan bahagia dan mengatakan, “Aku sebenarnya sudah membeli kitab ini dari semenjak ia launching di Madinah. Tentunya kamu tahu kondisiku sekarang ini yang sudah tidak mampu untuk membuka dan mengkaji kitab sebagaimana yang aku sukai. Akan tetapi aku membeli kitab ini untuk mewariskan kepada anak dan keluargaku. Itulah sebaik-baik warisan. Syekh Abdu al-Fatah mendapatkan pelajaran yang sangat berharga setelah mendengarkan perkataan gurunya.
Dari pemaparan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwasanya banyak sekali manfaat yang bisa didapat dari membaca buku. Untuk menunjang hal tersebut seyogianya membeli buku dan meniatkan untuk membacanya. Baik terealisasikan atau tidak perihal nanti. Jika memang sudah tidak memungkinkan membaca dikarenakan ajal menyapa dan lain sebagainya, koleksi buku yang sudah terbaca maupun belum, dapat dijadikan warisan untuk generasi mendatang.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Muhammad Badr `Alam al-Merethe bahwa buku merupakan harta warisan yang terbaik. Maka dari itu, sebagai penuntut ilmu sudah selayaknya kita menyadari bahwa membeli buku bukanlah hal yang sia-sia, meski pada akhirnya tidak dibaca. Walaupun begitu, kita juga harus lebih sadar jika tidak dibaca saja ia masih memiliki faedah, terlebih ketika membeli berbagai kitab dan menyibukkan diri untuk membacanya, serta menjadikan warisan untuk generasi mendatang. Maka faedah yang didapat akan jauh lebih banyak.
Walakhir, sebagai seorang pelajar sudah seyogianya bercengkrama dengan buku menjadi kebiasaan kita, maka dari itu mari sama-sama kita buat kebiasaan tersebut dengan memulainya niat membaca dari membeli buku. Karena buku akan menjadi fasilitas kita dalam berusaha untuk membaca. Tidak sekadar menjadi pajangan untuk menakuti tamu dan mertua yang bertamu ke rumah. Lantas bagaimana mungkin namamu tertulis dan diabadikan dalam buku, sedangkan debu yang menempelnya saja tak pernah kau sentuh.