Salah satu dari tiga narasumber dalam seminar ini, Prof. Dr. Sami Abdul Fattah Hilal, Dekan Fakultas Al-Quran Universitas Al Azhar, mencoba merespon diskursus tersebut. Dalam durasi bicara singkat tepat 15 menit, beliau mendatangkan secuil dari sekian banyak bukti mengagumkan dalam Al-Quran yang memantapkan kebenaran bahwa kalam Allah ini sungguh terpelihara dari sentuhan perubahan.
“Saya meyakinkan kepada anak-anak saya, bahwa Al-Quran Al-Karim terpelihara dari adanya kritikan. Tiada sedikitpun di dalamnya terjadi kesalahan sebagaimana dituduhkan para musuh islam. Karena Al-Quran Al-Karim telah terbukti aman dari segala bentuk tantangan semenjak diturunkan kepada hati N
abi Muhammad SAW. Pada masa Jahiliyah, kaum Arab yang begitu fasih dan menguasai Bahasa Arab justru lebih getol mencari-cari kesalahan terkecil dalam Al-Quran untuk dijadikan bahan serangan kepada Nabi Muhammad. Tetapi mereka tidak menemukan sedikitpun ruang untuk itu. Tidak pernah dan tidak akan pernah ada yang berhasil hingga hari kiamat. Apabila ada yang mencoba melemparkan kritikan kepada Al-Quran, dia semestinya menyadari bahwa upayanya itu bagaikan ingin menghancurkan sebuah gunung yang begitu besar dan kuat. Yang ada hanya akan merepotkan dirinya sendiri tanpa berbekas apapun pada gunung. Al-Quran akan tetap agung dengan penjagaan Allah SWT.
Saya akan meyakinkan kebenaran ini dengan beberapa maklumat yang mengagumkan.
1. Janji Penjagaan dalam Surat al-Hijr
Al-Quran menahbiskan dirinya sebagai kalamullah dalam banyak ayat, misalnya:
Yang dibawa turun oleh al-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan, (QS. Asy-Syu’ara: 193-194).
Yang menarik perhatian saya, ketika berbicara tentang penjagaan Allah dari segala macam tipu daya dan mementahkan batu yang dilemparkan para pengkritik, apa yang dikatakan Al-Quran dari sekian banyak penyifatan tentang dirinya?
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (9)
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9).
Ayat ini didatangkan dalam surat yang dinamakan al-Hijr. Al-Hijr sendiri maknanya adalah al-Man’u (mencegah). Ini mengisyaratkan bahwa Al-Quran tercegah untuk terjadi padanya kesalahan. Jadi bukan hanya tidak terjadi, akan tetapi tercegah untuk terjadi.
Ketika Tuhan berbicara tentang dzat-Nya, Dia menggunakanإِنِّي , ketika berbicara kepada Musa, Allah memilih diksi:
إِنَّنِي أَنَا اللهُ…
“Sungguh, Aku ini Allah,…” (QS. Tha-ha: 14)
Ketika berbicara tentang Fathu Makkah, Allah Ta’âla memilih diksi:
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ…
Tetapi ketika berbicara tentang penjagaan Al-Quran, Allah Ta’âla memilih diksi:
إِنَّا نَحْنُ…
Secara linguistik Arab, ini menunjukkan bahwa Al-Quran memberikan tantangan atas nama keagungan nama Tuhan kepada semua yang ingin melakukan kritikan. Maka dengan Kemaha-Agungan Tuha, Al-Quran terjaga dari segi rasm, dhabt, lafaz dan maknanya.
2. Keajaiban Rasm Mushaf Utsmani
Di sini saya mengakidkan, bahwa kuliah ini memberikan perhatian besar untuk men-dhabit lafaz-lafaz Al-Quran dan rasm mushaf, yang menjadi standar dalam penerimaan qira’ah dari Sayidina Utsman RA.
Maka perlu saya tegaskan kepada anak-anak saya mahasiswa Indonesia, bahwa rasm mushaf perlu untuk dijaga. Tidak ada ruang untuk diubah oleh siapapun, dan tidak diperkenankan ditulis berdasarkan rasm imla’i. Mengapa? Karena yang sudah ada adalah hasil dari mufakat para sahabat Ridhwanullahi’alaihim.Saya juga meyakinkan, bahwa rasm ini perlu untuk kita kaji, menggali filosofi dan rahasia-rahasia tersembunyi di baliknya.
Contoh Pertama: Keunikan pada Penulisan Rasm al-Dhuˊafā
Baru saja, saya ada jam mengajar pada mata kuliah tafsir, dan pembahasan sampai pada sebuah ayat dalam Surat Ibrahim yang berbunyi:
وَبَرَزُوْا لِلّٰهِ جَمِيْعًا فَقَالَ الضُّعَفٰۤؤُا لِلَّذِيْنَ اسْتَكْبَرُوْٓا اِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ اَنْتُمْ مُّغْنُوْنَ عَنَّا مِنْ عَذَابِ اللّٰهِ مِنْ شَيْءٍ ۗ
“Dan mereka semua (di padang Mahsyar) berkumpul untuk menghadap ke hadirat Allah, lalu orang yang lemah berkata kepada orang yang sombong, “Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindari kami dari azab Allah (walaupun) sedikit saja?”… (QS. Ibrahim: 21).
Yang membuat saya tercengang, mana kala menjumpai lafaz al-Dhuˊafā الضُّعَفَـــٰۤــؤُ dalam Surat Ibrahim ini, rasmnya menggunakan wāwu. Saya bertanya kepada mahasiswa, apakah ada dalam Al-Quran lafazh al-Dhuˊafā yang lain? Seorang mahasiswa menjawab: “Iya. Ada beberapa:
a. Dalam Surat Al-Baqarah
اَيَوَدُّ اَحَدُكُمْ اَنْ تَكُوْنَ لَه جَنَّةٌ مِّنْ نَّخِيْلٍ وَّاَعْنَابٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۙ لَه فِيْهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِۙ وَاَصَابَهُ الْكِبَرُ وَلَه ذُرِّيَّةٌ ضُعَفَاۤءُۚ فَاَصَابَهَآ اِعْصَارٌ فِيْهِ نَارٌ فَاحْتَرَقَتْ ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَك
ُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَ ࣖ – ٢٦٦
“Adakah salah seorang di antara kamu yang ingin memiliki kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, di sana dia memiliki segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tuanya sedang dia memiliki keturunan yang masih kecil-kecil. Lalu kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, sehingga terbakar. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkannya.”
b. Dalam Surat Al-Taubah
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاۤءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضٰى وَلَا عَلَى الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ مَا يُنْفِقُوْنَ حَرَجٌ اِذَا نَصَحُوْا لِلّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۗ مَا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ مِنْ سَبِيْلٍ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌۙ – ٩١
“Tidak ada dosa (karena tidak pergi berperang) atas orang yang lemah, orang yang sakit dan orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada alasan apa pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang,”
c. Dalam Surat Ghafir
وَاِذْ يَتَحَاۤجُّوْنَ فِى النَّارِ فَيَقُوْلُ الضُّعَفٰۤؤُ لِلَّذِيْنَ اسْتَكْبَرُوْٓا اِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ اَنْتُمْ مُّغْنُوْنَ عَنَّا نَصِيْبًا مِّنَ النَّارِ – ٤٧
“Dan (Ingatlah), ketika mereka berbantah-bantahan dalam neraka, maka orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri, “Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu melepaskan sebagian (azab) api neraka yang menimpa kami?”
Pada dua tempat, Surat Ibrahim dan Surat Ghafir, lafaz al-Dhuˊafā ditulis menggunakan wāwu. Sedangkan pada bagian yang lain ditulis tanpa wāwu. Sebagai pengkaji Al-Quran, seharusnya pembaca berhenti sejenak ketika menjumpai keanehan ini dan merenungi, “Mengapa di Surat Al Baqarah dan Surat Al Taubah menggunakan hamzah, sementara dalam Ibrahim dan Ghafir rasm-nya seperti ini?” Apakah itu ditulis asal-asalan tanpa pemikiran oleh sahabat dan tanpa istinbath makna? Jika kita tidak tau, maka harus kita mencari. Terlepas kita temukan ataupun tidak jawabannya, mesti kita yakini bahwa sejatinya itu pasti ada hikmahnya.
Memang tidak dipungkiri, lafazh Al-Quran turun dalam bentuk verbatim (matluwwan) dan bukan dalam bentuk tulisan (maktuban). Akan tetapi dia ditulis di hadapan para sahabat RA di bawah pimpinan Khalifah al-Rasyid Imam Utsman bin Affan RA. Kita semuapun tahu hadits yang shahih dan jelas tentang pemberian legitimasi kepada para Khulafa Rasyidun:
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين
Maka, sebagaimana dikatakan oleh guru kami Syekh Abdul Azhim al-Math’ani dalam pembahasan ini,
هو توفيق يرقى إلى التوقيف
“Penulisan rasm mushaf oleh para sahabat adalah Taufiq yang naik derajatnya kepada Tauqif”
Maka perlulah filosfi dan rahasia keunikan Rasm ini digali. Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr. Ibrahim Hudhud, rahasia ini bagaikan aroma mawar yang bisa dicium oleh orang yang punya indra penciuman sehat. Adapun yang hidungnya tersumbat, maka hendaklah dia mencari obat.
Sekali lagi, tidakkah kalian bertanya-tanya kepada diri sendiri, mengapa di Surat Ibrahim dan Gafir dirasamkan dengan wāwu!?
Di sini membedakan antara, 1) Kelemahan hakiki yang diderita oleh seorang manusia apabila dia sudah tua atau jatuh sakit,
Akan tetapi, pada hari kiamat, وبرزوا لله جميعا tatkala semua manusia bangkit untuk dihakimi dan dihisab, semua orang yang sesat pada kehidupan dunia mencoba mencari-cari dalih “Saya sesat gara-gara ikut si fulan atau si fulan.” Di sisi lain, mereka yang dituduh menyesatkan, membebaskan diri dari tuduhan itu. Padahal Allah berfirman kepada ahlul mahsyar:
قَالَ لَا تَخْتَصِمُوْا لَدَيَّ وَقَدْ قَدَّمْتُ اِلَيْكُمْ بِالْوَعِيْدِ – ٢٨
(Allah) berfirman, “Janganlah kamu bertengkar di hadapan-Ku, dan sungguh, dahulu Aku telah memberikan ancaman kepadamu.
Begitulah Al-Quran menggambarkan situasi pada hari kebangkitan manakala ahli neraka berperkara dan saling menyalahkan. Apakah di sini yang dimaksudkan adalah lemah dari segi struktur badan? Tidak! Perhatikan kala Allah menyifati mereka dengan sifat Jabbâr (perkasa):
وَاسْتَفْتَحُوْا وَخَابَ كُلُّ جَبَّارٍ عَنِيْدٍۙ – ١٥
Dan mereka memohon diberi kemenangan dan binasalah semua orang yang berlaku sewenang-wenang lagi keras kepala,
Konteks pembicaraan di sini bukan tentang itu. Akan tetapi letak kelemahan di sini adalah pada akal, lemahnya pikiran, lemahnya pemahaman bagi orang-orang yang hanya mengekor dan ikut-ikutan pada kesesatan tuannya atau kesesatan orang lain:
إنا كنا لكم تبعا
Maka, ketika konteks pembicaraan tentang kelemahan yang bukan pada struktur jasad, melainkan pada kelemahan akal, Mushaf Utsmani hendak memberikan kita stressing perbedaan makna ini melalui perbedaan rasm ini, supaya pembaca mengetahui bahwa kelemahan yang tercela yang layak dikucilkan pada manusia bukan pada kelemahan yang terlihat pada postur tubuh, melainkan kelemahan akal yang tidak memanfaatkan nikmat berpikir yang dibekali oleh Allah untuk membedakan antara haq dan batil.
Contoh Keunikan pada Penulisan Rasm Shahib
Contoh lain pada Surat Al Kahf yang kita semua hafal dan rutin membacanya. Lafazh صاحب:
فَقَالَ لِصَـٰحِبِهٖ وَهُوَ يُحَاوِرُهٗٓ اَنَا۠ اَكْثَرُ مِنْكَ مَالًا وَّاَعَزُّ نَفَرًا – ٣٤
dan dia memiliki kekayaan besar, maka dia berkata kepada kawannya (yang beriman) ketika bercakap-cakap dengan dia, “Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikutku lebih kuat.”
Sebaris setelahnya, datang juga lafazh صاحب juga:
قَالَ لَهٗ صَاحِبُهٗ وَهُوَ يُحَاوِرُهٗٓ اَكَفَرْتَ بِالَّذِيْ خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُّطْفَةٍ ثُمَّ سَوّٰىكَ رَجُلًاۗ – ٣٧
Kawannya (yang beriman) berkata kepadanya sambil bercakap-cakap dengannya, “Apakah engkau ingkar kepada (Tuhan) yang menciptakan engkau dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan engkau seorang laki-laki yang sempurna?
Perhatikan perbedaan penulisannya pada mushaf, padaصاحب pertama tidak menggunakan Alif, sedangkan pada yang kedua menggunakan alif. Di sini kita bertanya, sebagaimana dikatakan para ahli bahasa, tidak ada illah nahwiyah ataupun illah sharfiyah yang mencegah dari penetapan alif baik pada pertama ataupun kedua. Oke baik, apabila tidak menetapkan alif pada pertama dan kedua. Tetapi mengapa di sini harus dibedakan? Apakah Al-Quran menyalahi kaidah nahwu atau sharf?
Maka di situlah kita dituntut untuk berpikir, saat pada saat yang sama kita meyakini Al-Quran tidak mungkin terjamah oleh tangan para pengkritik,
قُلْ لَّىِٕنِ اجْتَمَعَتِ الْاِنْسُ وَالْجِنُّ عَلٰٓى اَنْ يَّأْتُوْا بِمِثْلِ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لَا يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهٖ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا – ٨٨
Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.”
Mereka tidak akan dapat menandingi, tidak pada lafaznya, tidak pada maknanya, dan tidak pula pada rasmnya. Maka sayapun termangu merenung dan berkata: “Seorang sahabat itu harus setia, terpercaya, memberikan bukti dalam persahabatan. Akan tetapi ketika membaca:
فَقَالَ لِصَـٰحِبِهٖ وَهُوَ يُحَاوِرُهٗٓ اَنَا۠ اَكْثَرُ مِنْكَ مَالًا وَّاَعَزُّ نَفَرًا – ٣٤
Orang yang meledeki yang lain, apakah layak dinamakan sahabat!? Tidak mungkin orang macam itu terwujud padanya makna persahabatan yang hakiki. Maka dibuanglah alif pada lafazh Shahib pertama untuk menunjukkah bahwa itu hanyalah pertemanan yang temporer.
Adapun pihak sebaliknya yang mengatakan:
قَالَ لَهٗ صَاحِبُهٗ وَهُوَ يُحَاوِرُهٗٓ اَكَفَرْتَ بِالَّذِيْ خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُّطْفَةٍ ثُمَّ سَوّٰىكَ رَجُلًاۗ – ٣٧
Dia mengajak sahabatnya kepada keimanan dan ketataan. Inilah yang layak disebut persahabatan.
Maka, seakan rasm mushaf setiap kali memperlihatkan keeksentrikan dalam penulisan lafazh, maka dia memberikan sinyal kuat dalam tarbiyah suluk (pendidikan karakter). Maka kita dapat sepenuhnya tenang, bahwa Al-Quran adalah kitab tuhan semesta alam yang tidak ada ruang untuk dijamah oleh kebatilan dari arah manapun.