Kita tidak pernah tahu tentang masa depan yang akan datang. Terkadang kita berada di atas, terkadang pula kita berada di bawah. Semudah itu Allah membolak-balikkan takdir dan nasib hamba-Nya. Namun selama kita berjuang dengan sungguh-sungguh dan beristikamah di jalan Allah, kita tak akan pernah menyesal. Sebab takdir Allah benar-benar spesial.
Khalid bin Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin Ahmad al-Jarjawi atau masyhur dikenal dengan nama Syekh Khalid al-Azhari memiliki kisah yang menakjubkan dalam hidupnya. Perjalanannya menjadi ulama begitu menginspirasi. Beragam kesulitan dan tantangan berhasil dilewati. Hingga suatu ketika, satu kejadian memalukan berhasil mengubah hidupnya.
Syekh Khalid lahir di Jarjah, sebuah kota kecil di kawasan Mesir Hulu. Syekh Khalid lahir dari keluarga yang kurang mampu. Hingga saat masih usia kanak-anak, ia bersama kedua orang tuanya pindah ke Kairo untuk mencari penghidupan.
Meskipun lahir dari keluarga yang kurang mampu, Syekh Khalid tak patah semangat untuk belajar. Kepindahannya ke Kairo pun membawa hikmah tersendiri. Di sana, ia menghafal al-Qur’an dan belajar ilmu-ilmu agama dari ulama-ulama terkemuka. Di antara kitab-kitab yang ia pelajari ialah al-Umdah dan Mukhtasar Abi Syuja’.
Saat remaja Syekh Khalid pindah ke al-Azhar untuk bekerja. Sebenarnya Syekh Khalid tak mau bekerja dan ingin sekali belajar al-Qur’an, bahasa Arab, dan ilmu agama di sana, namun karena kondisi ekonomi keluarga yang tak memungkinkan, ia pun terpaksa harus bekerja menghidupi keluarganya. Di al-Azhar Syekh Khalid bekerja sebagai waqqad. Waqqad bertugas menyalakan lentera atau lampu gantung yang menghiasi langit-langit masjid al-Azhar saat petang tiba.
Namun siapa sangka, pekerjaannya tersebut menjadi wasilah Allah mengangkat derajatnya dan memuliakannya. Suatu ketika Syekh Khalid sedang bekerja, menyalakan lentera yang tergantung di langit-langit masjid. Tanpa sengaja, saat menyalakan lentera, sebagian kecil sumbu terjatuh dan mengenai sebuah buku milik salah seorang pelajar al-Azhar.
Melihat bukunya ternodai, pelajar tersebut naik pitam dan mencaci Syekh Khalid. Ia mengatakan, “Kau bodoh, seaindainya kau mau belajar (alih-alih bekerja) kau tidak akan sebodoh ini.” Syeikh Khalid pun merasa sedih dan menyesal. Akhirnya ia pun meminta maaf kepada pemuda tersebut dan memberikan uang delapan dinar sebagai ganti, tetapi pemuda itu hanya mengambil setengahnya.
Akhirnya, setelah kejadian tersebut Syekh Khalid memutuskan untuk berhenti bekerja dan memulai kehidupan baru sebagai pelajar di Masjid al-Azhar. Ia menggunakan sisa 4 dinar miliknya untuk mendaftarkan diri. Ia benar-benar yakin dan istikamah di usianya yang tak lagi muda untuk mulai belajar. Usianya saat itu 36 tahun, jauh di atas pelajar-pelajar lainnya.
Meskipun demikian, usia tak menghalangi kegigihan Syekh Khalid dalam menuntut ilmu. Ia dikenal sebagai murid yang sangat cerdas dan rajin. Padahal di usia yang hampir menginjak kepala empat, biasanya orang-orang akan kesulitan menghafal dan belajar. Namun Syekh Khalid membuktikan bahwa selama berusaha tidak akan ada yang mustahil. Bahkan perkembangan belajarnya begitu cepat dibandingkan murid-murid lainnya. Hingga kemudian, lahirlah Syekh Khalid sebagai seorang ulama.
Syekh Khalid pun kemudian diamanatkan untuk memberikan kuliah di al-Azhar. Tak hanya itu, ia juga ditunjuk untuk mengajar di berbagai madrasah dan khanqah (tempat belajar para sufi). Bahkan masyhur tersemat di belakang namanya al-Azhari. Hal ini tak lain dikarenakan tingginya keilmuan yang dimilikinya serta ditunjuknya ia sebagai salah satu ulama al-Azhar, dimana tak sembarang orang disematkan julukan al-Azhari dibelakang namanya.
Syekh Khalid merupakan sesosok ulama yang berbakat dan multitalent. Beliau menguasai beragam disiplin keilmuan, utamanya Bahasa dan Sastra Arab, hingga mendapatkan julukan an-Nahwi (Ahli Nahwu atau Gramatikal Arab). Beliau juga merupakan pakar dalam ilmu Mantiq (Logika), ilmu Usul Fikih, dan ilmu Qira’at. Beliau juga merupakan seorang ulama yang wara’ dan rendah hati. Bahkan hal ini telah ditunjukkannya sedari ia masih kecil, berkat didikan orang tuanya.
Hingga masa wafatnya, Syekh Khalid telah mengarang beberapa karya tulis yang saat ini masih dikaji dan dipelajari oleh para murid yang sedang meniti ilmu di negeri para nabi. Diantaranya yang paling terkenal ialah Syarh al-Ajurumiyyah, Muqaddimah al-Azhariyyah, dan Syarh Burdah. Ketiganya bahkan hingga saat ini masih terus dicetak ulang. Total, tak kurang dari 17 karya tulis telah ia buat.
Sebelum wafat, Syekh Khalid pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Hingga akhirnya selepas kembali ke tanah airnya, Mesir, ia wafat dan dimakamkan di sana. Syekh Khalid wafat pada tanggal 19 Muharram 905 H / 20 Agustus 1499 M.
Dari Syekh Khalid kita belajar, bahwa tak sepantasnya cercaan orang menjadi alasan bagi kita untuk menyerah dan berputus asa. Sebaliknya, hinaan dan cacian adalah batu pijakan bagi kita untuk melangkah menuju kesuksesan.
Kisah Syekh Khalid ini juga secara tidak langsung merupakan teguran bagi kita untuk terus belajar kapan pun dan di mana pun, meskipun tubuh telah digerogoti usia. Sebab dengan belajar kita akan lebih bijak. Dan dengan terus belajar, hari esok akan selalu baik dari hari ini dan kemarin.
Kisah ini disarikan dari mukaddimah kitab “Syarh al-Ajurumiyyah” karangan Syeikh Khalid al-Azhari dan disertasi berjudul “asy-Syaikh Khalid al-Azhari wa Juhuduhu an-Nahwiyyah” oleh Amani Abdul Rahim Abdullah Halwani.