Islam lahir di tanah Arab, tapi Islam bukan Arab. Islam juga tidak mesti Arab. islam harus dipandang sebagai gugusan nilai-nilai universalitas yang bisa dibungkus dengan budaya tertentu, asal dengan syarat adanya kompatibitas. Islam dapat menjadi produsen maupun konsumen budaya. Islam sangat fleksibel dalam keadaan tertentu.
Di dalam sistem sosial perkastaan Jawa, orang biasa (kasta waisya dan sudra) tidak boleh menyebut dirinya dengan kata ganti ingsun (aku). Hanya raja saja yang boleh menyebut dirinya ingsun. Begitupun juga mereka tidak boleh membaca kitab suci, kecuali kalangan satria dan brahmana. Kemudian Islam hadir dibawa dan diupgrade dakwahnya oleh Walisongo dengan pendekatan budaya yang sarat dengan nilai-nilai toleransi.
Walisongo mendemonstrasikan ingsun di dalam praktek-praktek peribadatan Islam. Dan semua orang boleh dan sangat dianjurkan untuk membaca Kitab Suci. Oleh karenanya ini, orang-orang Jawa mengalami kebebasan dan kemerdekaan dari sistem feodalisme Jawa ini. Pada tahap selanjutnya. mereka berbondong-bondong masuk Islam dengan kesadaran penuh. Dan hingga sekarang Islam menjadi agama mayoritas penduduk Indonesia.
Walisongo mengislamkan orang-orang kafir. Tidak seperti orang-orang sekarang yang mengkafirkan orang-orang Islam. Telah menjadi terang perbedaannya. Islam Nusantara hadir dengan agenda besar, yaitu visi peradaban besar bagi dunia. Islam Nusantara dari Nahdlatul Ulama untuk dunia.