Ppmimesir.or.id, Kairo—Minggu (08/11/2020), PPMI Mesir yang dikordinasikan oleh Kemenko 1 mengadakan forum Diksi (Diskusi antar Afiliasi). Bertempat di Wisma Nusantara, forum ini diikuti oleh insan kajian dari setiap afiliasi Indonesia yang ada di Mesir, yaitu Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Nahdlatul Wathan, Persatuan Islam dan Al-Washliyah.
Ahmad Ilham Zamzami, dari SAS Center NU Mesir, mendapat giliran pertama menjadi pemateri dalam forum Diksi, ia membawa makalah berisi 30 halaman dengan tema “Konstruksi Historis dan Konsepsi Teologi Asy’arian: Restrukturisasi Neraca Moderatisme Al-Azhar”. Ia mempresentasikan argumen tentang konsep moderatisme yang terdapat dalam Islam. Pertama, ummatul haq, dalam artian umat muslim yang menggunakan jalan keberagamaannya dengan hak. Kedua, ummatul marjiiyah yaitu umat yang ketika melakukan sebuah permasalahan, peribadatan, dan bersosial di tengah masyarakat menggunakan konsep preferensi; wahyu dari Allah Swt.
Selanjutnya, Ahmad Ilham Zamzami mengatakan dalam konsepsi teologi Asy’arian, Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari menggabungkan antara kaum rasio yang diwakilkan oleh Muktazilah, dengan kaum tekstualis yang diwakilkan oleh Hanabilah, “Tidak ada jalan lain untuk menentukan mederatisme kecuali melakukan al-jam’u bayna mutaqobilain wa mutanaqidain. Sehingga dari sisi itulah konsep persatuan Islam bisa maju, dan dalam sisi teologi beliau dianggap sebagai moderatisme,” jelas Direktur SAS Center.
Sila kunjungi video lengkapnya di sini : Diskusi antar Afiliasi Part 1
Menurutnya, tidak mungkin mengetahui sisi moderat Asy’arian kecuali memiliki piranti untuk bisa memahaminya, diantaranya diskursus ilmu morfologi (tasyrîf), gramatikal (nahwu), teori berpikir logis (manthiq), etika berdiskusi dan berdialektika (‘adâb al-bahts wa al-munâzharah). Selain itu, terdapat unsur-unsur yang dibutuhkan untuk mencapai tingkatan hakikat pengetahuan; baik dengan panca-indra; akal dan kabar, hal-hal tersebut dikemukakan oleh Imam Asy’ari dalam karya-karyanya.
Argumentasi yang diutarakan Direktur SAS Center tersebut tidak lantas disepakati bersama, sharing ide, kontrol wacana, tanggapan hingga kritik pun datang dari para panelis. Sejatinya dalam tradisi kajian, apresiasi terdapat dalam tanggapan dan kritikan. Perwakilan Persis misalnya, ia menyebut definisi moderatisme yang dipresentasikan belum dijabarkan secara tuntas.
Sila kunjungi video lengkapnya di sini : Diskusi antar Afiliasi Part 2
Bukan hanya itu, Perwakilan Muhammadiyah berujar, “Dalam faktor akidah, apalagi masalah ushul, tidak ada dua kabar, jadi yang kita yakini apa yang benar ya benar, masalah toleransi dengan yang lain itu urusan yang lain”. Kemudian ia menanyakan apakah moderatisme hanya ada di Asy’arian saja, sehingga terkesan memonopoli moderatisme itu sendiri, atau masing-masing paham akidah, seperti Muktazilah dll. memiliki moderatisme tersendiri?.
Selain panelis, audiens pun diberikan kesempatan untuk menyampaikan gagasan dan pertanyaan. Nizam Noor Hadi, salah satu audiens, memberikan gagasan dengan pandangan Taha Abdurrahman dalam bukunya tentang al-Hiwar Ufuqan lil Fikr, dia menyebutkan bahwa ada tiga komponen utama yang harus dijadikan sebagai tolak pikir bersama bagi setiap orang yang ingin melakukan qodiyatu al-nazdhar. Komponen-komponen tersebut ialah ahammiyatu al-aliyah (urgensi metodologi), ahamiyatu ad-dakhiliyah (urgensi personal), dan ahammiyatu al-kharijiah (urgensi eksternal).
Baca juga : Al-Azhar adalah Doa
“Perkumpulan kita bukan sebatas bertujuan untuk li tashihi al-ma’rifati fakot, walakin li tahsiliha wa ziyâdah fîha, beda antara kita datang ke sini untuk mengatakan bahwa pendapat kita paling benar dan yang lain salah, ini terjadi jika kita berpandangan bahwa dalam mileu ini untuk tashihi al-ma’rifah faqot, tapi yang kita inginkan adalah litahsiliha wa ziyadah fîha untuk memperoleh gagasan, wacana dan pandangan-pandangan baru sebagai upaya untuk menyikapi realitas pada saat ini.” Nizam Noor Hadi kemudian menutup pemaparannya dengan konklusi. “Kita menghargai tradisi intelektualitas, khazanah turats kita yang infitah, munfatih, inklusif terhadap perbedaan,” tutupnya.
Reporter : Dwi Wijaya
Editor : Nazhril Fathra