Pada kesempatan ini kita akan membahas tiga hal, yaitu: Perlindungan bagi harta benda umat Islam, Investasi dan Dana Haji Indonesia. Karena adanya opini untuk menginvestasikan dana haji ke bidang infrastruktur yang aman dan bermanfaat dan kurang risiko, seperti pelabuhan, jalan tol dan lainnya.
Pertama: Harta Benda
Harta Benda adalah salah satu dari Lima hal Mendasar yang dijaga oleh Islam dalam kehidupan di dunia ini agar berlangsung dengan aman, nyaman dan maju. Syariat berdiri dan terlaksana dengan menjaga kelima hal dasar ini, yaitu: Agama, Nyawa, Akal Pikiran, Keturunan, Harta, Harga Diri. Jika terusik salah satu dari lima hal tersebut maka akan ada hukuman atau sangsi agama yang harus ditebus.
Islam itu agama kaya, selalu berkaitan dengan harta benda di dalam aspek kehidupan umatnya. Mulai dari seorang bayi lahir, jika berkelamin wanita maka diadakanlah aqiqah, ucapan syukur dengan menyembelih seekor kambing, dan mengundang para tetangga untuk hadir di acara tasmiyah (penamaan) anak yang baru lahir itu. Sedangkan jika berkelamin laki-laki, maka kambing yang disembelih berjumlah dua ekor. Dan aqiqah ini diadakan tentunya oleh orang yang mampu.
Untuk melaksakan haji juga harus bagi orang yang mampu, secara material, jiwa mau pun raga dan keluarga. Tidak sedikit jamaah haji Indonesia yang menunggu berpuluh tahun untuk berangkat haji, dengan menabung sedikit demi sedikit demi melunasi biaya hajinya. Di Kabupaten Siderang Rappang, Sulawesi Selatan, calon jamaah haji menunggu 41 tahun untuk berangkat haji, jika mendaftar tahun ini dan telah lunas setoran awal Rp. 25 juta. Belum lagi calon jamaah haji dari daerah lainnya yang menunggu berkisar antara 14 -17 tahun ke depan.
Dalam khuthbah “Haji Al Wada” yaitu haji perpisahan di detik-detik terakhir Rasulullah – shallallahu alaihi wa sallam mengingatkan beberapa nasehat agama penting, kita ambil dua nasehat beliau yang berhubungan dengan masalah investasi dana haji yang sedang diperbincangkan di Negara kita, yaitu:
1-Larangan Membunuh Jiwa Dan Mengambil Harta Orang Lain Tanpa Hak.
Bahwa harta benda, jiwa raga dan harga diri manusia dilindungi atau suci, tidak boleh dirampas, diganggu-gugat serta dilecehkan. Begitu perhatiannya Rasulullah terhadap hubungan antar manusia, mengingatkan kita akan bahaya permasalahan yang diakibatkan karena proses perolehan harta sekecil apa pun nilainya, manusia akan berkorban nyawa demi haknya.
Kita sempat dihebohkan dengan seorang supir bajai di Jakarta yang membunuh penumpang hanya karena perdebatan ongkos kurang beberapa ribu rupiah. Keringat yang bercucuran, rasa letih dan lapar akan menutup hati jika hak hartanya dilecehkan. Maka tidak aneh jika Rasulullah menyetarakan perlindungan harta dengan perlindungan nyawa di dalam khutbah ini.
Selagi milik sendiri maka harta benda akan menjadi tanggung jawab pribadi, namun jika kita ingin mengelola atau mengembangkan harta orang lain, maka harus ada unsur rela (taradhi) dari kedua belah pihak (pemodal dan pengusaha), unsur usaha halal, dan unsur bebas riba.
2-Kewajiban Meninggalkan Tradisi Jahiliyah seperti Pembunuhan Balasan dan Riba.
Semua tradisi buruk dan merugikan di zaman jahiliyah tidak boleh dilakukan lagi, termasuk di antaranya yaitu aktivitas riba dengan segala bentuk dan dalihnya. Kalau investasi dengan jaminan persentase imbal hasil dari nilai modal maka itu termasuk dalam kategori riba, karena salah satu syarat dari investasi Islam adalah persentase imbal hasil diambil dari nilai keuntungan usaha setelah pemotongan modal, biaya, kemudian dibagi untuk kedua belah pihak (pemodal dan pengusaha) dari total nilai keuntungan bersih yang didapat., sesuai jumlah persentase yang disepakati, akan kita jelaskan nanti.
Riba akan selalu ada, akan memiliki nama-nama, dan tersembunyi di balik kepentingan manusia yang tak berharga.
Kedua: Investasi
Kontrak investasi dalam Islam dikategorikan sebagai kontrak amanah, yaitu kedua pihak dikondisikan sebagai rekan bisnis yang saling membantu (pembagian untung dan rugi) berdasarkan modal dari keduanya atau kita kenal dengan Kontrak Bagi Hasil, dalam bahasa Arab: “mudharabah”. Artinya, tidak ada pihak yang menjadi penjamin atas pihak yang lainnya. Bukan kontrak ganti rugi yang harus ada keuntungan atau harus ada jaminan dari pihak pengusaha.
Keputusan Majma Al Fiqh Al Islami menyebutkan: “Investasi apa pun yang menjadikan pihak pengusaha (mudharib) memberikan keuntungan dengan kadar tertentu kepada pemodal, maka hukumnya adalah haram. Karena sifat investasi telah berubah menjadi elemen pinjaman dengan janji keuntungan riba”.
Prinsip Dasar Ekonomi Islam menyatakan di dalam sebuah bentuk usaha yang halal:
“Keuntungan didapatkan melalui tanggungan resiko yang ada”.
“Bagi yang mau mendapatkan keuntungan dari sesuatu, maka dia harus menanggung resiko”.
Maka investasi apapun bentuknya dalam Islam mewajibkan bahwa kerugian dan keuntungan hendaknya menjadi tanggung jawab dan hak kedua pihak. Kecuali apabila salah satu pihak dengan sengaja membatalkan kesepakatan yang ada dan menimbulkan kerugian kepada salah satu pihak.
Instrumen Investasi:
Investasi Islam sah menurut hukum bila terpenuhinya tiga unsur, yaitu:
1. Pelaku (pemodal dan pengusaha)
Kedua pihak di sini adalah pemodal dan pengusaha. Keduanya disyaratkan memiliki kompetensi beraktivitas. Bukan di antara golongan: Orang yang bangkrut terlilit hutang, orang yang masih kecil, orang gila, orang idiot, semuanya tidak boleh melaksan
akan transaksi ini. Usaha berlangsung dengan adanya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak pengawas, sehingga aktivitas tersebut terbebas dari riba dan berbagai bentuk jual beli yang berdasarkan riba.
2. Kontrak Perjanjian (Akad)
Kontrak perjanjian ini merupakan titik awal terjadinya bisnis ini sekaligus sebagai dasar dari penentuan besaran persentase pembagian keuntungan. Maka dari itu dalam kontrak perjanjian ini harus dilaksanakan dalam keadaan tahu, dan tidak ada unsur paksaan sehingga kedua pihak memiliki rasa rela.
3. Objek Transaksi
Objek transaksi dalam penanaman modal ini tidak lain adalah modal, usaha dan keuntungan.
a. Modal
Syarat modal yang bisa digunakan investasi adalah harus merupakan alat tukar, seperti emas, perak atau uang secara umum. Modal ini tidak boleh berupa barang, kecuali bila disepakati untuk menetapkan nilai harga barang tersebut dengan uang. Sehingga nilainya itulah yang menjadi modal yang digunakan untuk memulai usaha.
Mengapa dilarang penanaman modal dengan menggunakan barang komoditi?. Alasannya adalah karena tidak jelasnya besar keuntungan saat pembagian keuntungan. Ini terjadi karena harga barang itu (yang dijadikan modal) diketahui dengan perkiraan dan rekaan saja, dan itupun bisa berbeda-beda dengan perbedaan alat tukar yang digunakan. Ketidak-jelasan itulah yang akhirnya akan menimbulkan kerusakan dan pertikaian. Karena ketika ia mengambil barang, harganya sekian. Dan ketika ia mengembalikannya, harganya sudah berbeda pula. Hal itupun berimbas pada ketidakjelasan keuntungan dan modal.
b. Usaha
Usaha pokok dalam penanaman modal adalah di bidang perniagaan atau bidang-bidang terkait lainnya. Di antara yang tidak termasuk perniagaan adalah bila pengusaha mencari keuntungan melalui bidang perindustrian. Bidang perindustrian tidak bisa dijadikan lahan penanaman modal, karena itu adalah usaha berkarakter tertentu yang bisa disewakan. Kalau seseorang menanamkan modal untuk usaha perindustrian, maka penanaman modal itu tidak sah, seperti menanamkan modal pada usaha pemintalan benang yang kemudian ditenun dan dijual hasilnya. Atau untuk usaha penumbukan gandum, lalu setelah menjadi tepung diadoni dan dijual. Demikian seterusnya.
Hanya saja madzhab hanbali berpandangan bahwa penanaman modal semacam itu dibolehkan, yaitu dengan cara menyerahkan juga alat-alat perindustrian ke pengelola industri dengan imbalan sebagian dari keuntungan perusahaan. Hal ini dianalogikan dengan kontrak agrobisnis (muzaraah). Dengan alasan bahwa alat itu adalah materi yang dikembangkan melalui usaha, sehingga sah diikat dengan perjanjian usaha dengan imbalan sebagian keuntungan perusahaan. Seperti modal tanah dalam kontrak agrobisnis.
Pengusaha tidak boleh bekerjasama dalam penjualan barang-barang haram sebagaimana konsesus ulama, tidak boleh berkaitan dengan riba, yaitu pengusaha yang mengambil modal kembali menginvestasikan modal tersebut ke bank konvensional dengan tergiur bunga besar. Kemudian mengembalikan modal ke pemodal dan membagi keuntungan walau pun telah disepakati.
c. keuntungan
Keuntungan dalam bisnis ini adalah hak kedua belah pihak, yang pembagiannya harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh hukum Islam :
a-Diketahui secara jelas yang ditegaskan saat transaksi dengan persentase tertentu bagi pemodal dan pengusaha.
Yang perlu diingat, persentase ini bukan dari modal tapi dari keuntungan. Kesalahan yang sering terjadi adalah pemodal mendapatkan keunungan dari persentase modal. Misalnya 10 % dari modal, maka hal ini termasuk riba.
b-Keuntungan dibagikan dengan persentase yang sifatnya merata, seperti setengah, sepertiga atau seperempat dan sejenisnya. Atau juga bisa memakai persentase persen, misalnya 10 % atau 20% dan lainnya. Kalau ditetapkan sejumlah keuntungan pasti, misalnya Rp. 1.000.000 bagi salah satu pihak, sementara sisanya untuk pihak lain, maka investasi ini tidak sah.
Selanjutnya, bila ternyata tidak ada keuntungan sama sekali atau bahkan rugi, siapa yang harus menanggung kerugian tersebut?
Dalam aturan hukum Islam, hanya pemodal saja yang menanggung kerugian. Pengusaha hanya mengalami kerugian kehilangan tenaga. Alasannya, karena kerugian itu adalah ungkapan yang menunjukkan berkurangnya modal, dan itu adalah persoalan atau tanggung jawab pemodal. Pengelola tidak memilik kekuasaan dalam hal itu, sehingga kekurangan modal hanya ditanggung oleh pemodal saja, tidak oleh pihak lain.
Untuk mengatasi kerugian ini ada dua opsi yang harus dilakukan :
– Pemodal mengucurkan dana segar sebesar kerugian tersebut.
– Kerugian ditutup dengan keuntungan selanjutnya
Melihat permasalahan keuntungan seperti itu maka ada 3 hal yang harus diperhatikan:
– Keuntungan dijadikan sebagai cadangan modal. artinya, pengelola tidak berhak menerima keuntungan sebelum ia menyerahkan kembali modal yang ada. Karena keuntungan itu adalah kelebihan dari modal. Kalau belum menjadi tambahan, maka tidak disebut keuntungan. Kalau ada keuntungan di satu sisi dan kerugian atau kerusakan di sisi lain, maka kerugian atau kerusakan itu harus ditutupi terlebih dahulu dengan keuntungan yang ada, kemudian yang tersisa dibagi berdua sesuai dengan kesepakatan.
– Pengelola tidak boleh mengambil keuntungan sebelum masa pembagian. Pengelola sudah berhak atas bagian keuntungan dengan semata-mata terlihatnya keuntungan tersebut. Akan tetapi hak tersebut tertahan sampai adanya pembagian di akhir masa perjanjian. Oleh sebab itu tidak ada hak bagi pengusaha untuk mengambil bagiannya dari keuntungan yang ada kecuali dengan pembagian resmi akhir itu. Dan pembagian itu hanya dengan izin dari pemodal atau dengan kehadirannya. Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat dalam persoalan ini.
Alasan tidak dibolehkannya pengusaha mengambil bagiannya dari keuntungan kecuali setelah masa pembagian adalah sebagai berikut:
-Bisa jadi terjadi kerugian setelah itu, sehingga keuntungan itu digunakan untuk menutupinya, sebagaimana telah dijelaskan fungsi keuntungan itu sebagai cadangan modal. Sehingga bukan hanya dengan pembagian saja hak masing-masing dari kedua belah pihak terjaga.
-Pemodal adalah mitra usaha pengelola, sehingga tidak ada hak baginya untuk mengambil bagian keuntungannya tanpa izin dari mitra usahanya
itu atau tanpa kehadirannya.
– Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan perhitungan akhir terhadap usaha tersebut.
Ketiga: Dana Haji
Rasulullah telah mengetahui bahwa dalam pengelolaan harta benda akan selalu ada kaitannya dengan riba, oleh karena itu pada saat memberikan nasehat untuk menjaga diri dari memakan harta orang lain dengan cara tidak benar, pada saat itu juga beliau mengingatkan kita untuk berlepas tangan dari riba dan segala bentuk transaksinya.
Investasi dana haji selama ini yang terjadi di Indonesia menjanjikan imbal hasil yang pasti, misalnya 6% perbulan dari nilai modal, selama 2 tahun kontrak. Maka ini tidak sesuai dengan prinsip investasi syariah. Investasi syariah memberikan imbal hasil bagi pemodal dan pengusaha dengan persentase dari nilai keuntungan yang didapatkan dari usaha, bukan persentase dari nilai modal yang dicurahkan.
Dana haji Indonesia pertanggal Juni 2017 sebagaimana yang diterangkan oleh Kementerian Agama totalnya adalah sebesar Rp. 99.000.000.000.000, banyak ya nolnya. Dan Sejak bulan Mei tahun 2009 telah dijadikan SBSN (Surat Berharga Syariah Negara), melalui SDHI (Sukuk Dana Haji Indonesia), dengan akad ijarah al khadamat (kontrak sewa jasa, berupa: layanan penerbangan, catering dan pemondokan). Juga bentuk – investasi lainnya. Tentu tidak semua dana yang ada diinvestasikan, melainkan sebagian kecil. Hampir setiap tahun diterbitkan surat berharga setelah bulan Mei 2009 tersebut. Terhitung hingga saat ini total investasi dana haji dalam bentuk surat berharga, bulan Juli 2017 SDHI mencapai Rp. 36,7 triliun.
Sektretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam mengatakan pada diskusi “Investasi Infrastruktur dari Dana Haji” di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta pada tanggal 1-8-2017, bahwa forum Komisi Fatwa MUI, di salah satu pondok pesantren di Tasikmalaya, pada Juli 2012, telah membahas pemanfaatan dana haji yang mengendap dari jamaah haji yang masih “waiting list”. Boleh diinvestasikan dengan empat syarat:
Pertama, dikelola tapi harus dipastikan jenis usahanya memenuhi prinsip syariah. Kedua, harus aman. Ketiga, ada manfaat bagi jemaah haji dan umat Islam umumnya. Keempat, kemampuan membayar modal kembali.
Sedangkan Ujang Komaruddin, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, pada forum diskusi yang sama mengatakan bahwa kontrak perwakilan dalam pengelolaan dana haji dari Jamaah ke pemerintah baru terjadi 2 tahun belakangan ini, maka bagaimana hukumnya dengan dana Jamaah sebelum masa tersebut yang tidak menanda tangani kontrak perwakilan?
Sementara itu, Ketua Komisi VIII DPR RI, Ali Taher Parasong menegaskan bahwa pengelolaan dana haji hanya diperuntukkan bagi Jamaah haji dan kepentingan umat Islam.
Solusi Dan Harapan:
Dana haji Indonesia yang akan terus bertambah dari total Rp. 99 triliun perbulan Juni 2017, harus dikelola dan diinvestasikan dengan prinsip syariah, aman dan bermanfaat bagi Jamaah itu sendiri khususnya, dan bagi umat Islam umumnya. Karena dana tersebut berasal dari mereka. Bagi jamaah yang tabungannya telah mencapai Rp. 25 juta di bank syariah, maka dia bisa mendaftar menjadi calon jamaah haji di Kementerian Agama di daerah masing-masing, dengan terus menabung hingga setoran hajinya lunas sesuai dengan total biaya yang telah ditetapkan pemerintah (Rp. 34 juta).
Agar investasi dana haji berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan, maka dari itu harus ada badan pengelola yang akuntabel dan kredibel. Apakah Badan Pengelola Keuangan Haji yang baru dilantik beranggotakan orang-orang yang kredibel dan akuntabel? Kita bisa melihat dan menyaksikan nantinya, yang sewajarnya beberapa anggota diisi oleh lulusan Timur Tengah, karena merekalah yang kompeten dalam referensi fikih investasi, dapat menjadi rujukan untuk pengelolaan dana haji sesuai dengan koridor prinsip syariah yang disyaratkan oleh fatwa MUI.
Syarat Investasi Dana Haji:
Agar investasi dana haji tidak melenceng dari tujuan utamanya yaitu kemaslahatan serta penyelenggaraan haji bagi umat Islam Indonesia, maka harus diperhatikan hal-hal berikut:
1- Pertama, dana haji boleh dikelola (tasharruf), diinvestasikan di bidang infrastruktur, manufaktur, pendidikan serta bidang lainnya. Dengan catatan harus dipastikan jenis usaha yang memenuhi prinsip-prinsip syariah. Termasuk dengan bentuk kontrak awal yang ditandai tangani oleh masing- masing individu jamaah calon haji: bentuk kontrak perwakilan (aqdu al wakalah) untuk pengelolaan investasi dana, serta kontrak sewaan berangsur (aqdu ijar fi adz dzimmah lil khadamat) untuk penyewaan jasa pelayanan ibadah haji, seperti penerbangan, katering, pemondokan dan lainnya.
2-Kedua, harus prudensial, sebagaimana pengelolaan dana wakaf yang tidak boleh berkurang tapi harus dikembangkan dan memiliki nilai manfaat.
3-Ketiga, bermanfaat, baik untuk jamaah haji demi kepentingan mereka dan juga untuk kemaslahatan umat Islam secara umum. Contoh: investasi infrastruktur dalam pembangunan apartemen di Arab Saudi bagi jamaah haji Indonesia. Yang nantikan akan digunakan untuk pemondokan jamaah haji selama di bulan haji, di Makkah dan Madinah, juga digunakan untuk bisnis jasa pemondokan bagi jamaah umrah di luar bulan haji. Dengan keuntungannya untuk jamaah haji itu sendiri.
4-Keempat, pengusaha yang menggunakan investasi harus memiliki likuiditas, artinya dana ini dibutuhkan dalam waktu terus-menerus setiap tahunnya, oleh karena itu dana harus ada tatkala dibutuhkan.
5-Dana Haji yang ada tidak boleh dipakai semua untuk investasi infrastruktur, bahkan menurut saya harus diberi patokan dana yang diendapkan dan siap dipakai untuk penyelenggaraan haji tahunan. Seperti 50 % dari dana yang ada tidak boleh diinvestasikan. Atau lima kali lipat nominal dari sekali penyelenggaraan haji, dana harus standby. Jika satu kali nominal penyelenggaraan haji misalnya: Rp 11 triliun, maka 11 dikali 5 menjadi Rp. 55 triliun dana harus ada. Atau dengan batasan yang dirumuskan oleh Pemerintah, BPKH, Ulama serta pemegang wewenang lainnya. Kenapa? Karena kita tidak tahu di masa mendatang dengan harga-harga pasar yang selalu naik dan tidak turun, kita juga belum akan mendapatkan keuntungan dalam dua tahun ke depan atau lebih, maka kita tidak bisa mengambil risiko. Jika batas ketersediaan dana yang tidak diinvestasikan hanya 2 kali 1 biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH).
Jika Negara Jiran Malaysia dengan tabung hajinya sanggup membangun apartemen jamaah haji dan umrah bagi mereka, maka kita harus lebih sanggup lagi untuk mengelola investasi dana haji di bidang manufaktur, yaitu pembelian pesawat Boeing 777 dengan harga berkisar Rp. 3 triliun. Dan akan digunakan untuk jamaah haji di bulan haji dan jamaah umrah di luar bulan haji, dengan keuntungan pertahunnya pasti mengurangi pengeluaran penyelenggaraan haji dan mengurangi
biaya setoran haji itu sendiri ke depan.
Kesimpulannya adalah, bentuk kontrak awal yang ditandai tangani oleh masing-masing – masing individu jamaah calon haji adalah: bentuk kontrak perwakilan (aqdu al wakalah) untuk pengelolaan investasi dana, serta kontrak sewaan berangsur (aqdu ijar fi adz dzimmah lil khadamat) untuk penyewaan jasa pelayanan ibadah haji, seperti penerbangan, katering, pemondokan dan lainnya.
Dana haji boleh diinvestasikan di berbagai sektor, seperti infrastruktur, manufaktur, pendidikan dan lainnya, dengan syarat jamaah mengetahuinya, aman, bermanfaat bagi jamaah terlebih dahulu dan umat secara umum (karena dana bersumber dari mereka), terjamin, dengan prinsip syariah, dan tidak semua dana yang diinvestasikan melainkan harus memiliki patokan berapa persen dana haji yang diendapkan serta siap pakai untuk biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) tahunan. Jumlahnya bisa dirumuskan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini pemerintah, BPKH yang sudah dilantik, dan jajaran ulama ahli fiqih serta pemegang kewenangan lainnya.
Dan imbal hasil investasi Islam didapatkan dari persentase nilai keuntungan akhir usaha, setelah mengeluarkan modal, biaya, dan lainnya, dibagi sesuai dengan kesepakatan pemodal dan pengusaha, imbal hasil diberikan bukan dari persentase nilai modal itu sendiri, agar tidak menjadi transaksi riba.