Kata Maulana Syeikhuna Al-Muhaddits Dr. Aiman Hajjar -hafidzohullah- mengenai Manhaj thalibul ilmi Al-Azhar Asy-Syarif dalam menuntut ilmu itu ada tiga: 1) Sanad akurat secara Riwayah dan Dirayah, 2) pembentukan suluk, 3) dan pengaplikasian dakwah Islam secara murni.
Lanjut beliau, dari pokok-pokok sistem di atas terdapat dalam proses menuntut ilmu yang bermulazamah kepada seorang guru – berhadapan secara langsung – membaca kitab tertentu dari awal pembuka hingga akhir penutup yang dipelajari. Metode ini telah ada sejak zaman Baginda Nabi Muhammad Saw. Bahkan, para ulama terdahulu kerap sekali menekankan akan hal tersebut. Karena, jika ia belum belajar atau menuntut ilmu tanpa proses melalui “seorang guru” yang mampu mengantarnya ke jalan ilmu, maka ia belum dikatakan berilmu.
Jikalaupun ia sebatas rajin membaca buku, tetapi ia belum pernah duduk di hadapan seorang guru yang mampu membimbingnya ke jalan terang, maka dengan tegas ia belum pantas dikatakan sebagai “penuntut ilmu”; proses belajar-mengajarnya seolah tiada faidah. Mengapa? Karena ilmu yang ia cermati sebatas dzahirnya, ibarat kata ia belajar ditemani oleh setan yang tidak hadirnya pembimbing murni dalam menapaki jalan ilmu; yang dimana esensi dari ilmu yang dipelajarinya dapat tersambung hingga sebagaimana yang diajarkan Baginda Nabi Muhammad Saw kepada umatnya.
Dulu, tegas beliau, di awal berdirinya Al-Azhar, proses belajar-mengajar belum tersusun secara sistematis dalam konsep pemetaan ilmunya meskipun sudah terealisasikannya proses belajar kepada seorang guru. Namun, dengan berlangsungnya zaman ke zaman; Al-Azhar semakin terarah dan begitu rapi konsep pemetaan ilmunya baik dari level dasar hingga ke level expert.
Qultu: Perlu dicermati, lebih dari itu Al-Azhar telah mampu mencetuskan para jebolan ulama yang ahli di bidangnya masing-masing dan yang memiliki nilai keilmuan secara ensiklopedi – yang menjadi referensi keilmuan Islam di seluruh dunia baik dari segi elektabilitas sosok perangainya, pun kualitas dari berbagai karya-karyanya. Sebutlah Imam Al-Qazwaini, Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari, Imam Syamsuddin Ar-Ramli, Imam Khatib Asy-Syirbini, Imam Al-Quthb Ar-Rabbani Asy-Sya’rani, Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Syeikh Ibrahim Al-Bajuri, Syeikh Hasan Al-Athar, Syeikh Ad-Damanhuri, Imam Abdurrauf Al-Munawi, Syeikh Asy-Syarqawi, Sidi Ibnu Athaillah As-Sakandari, Ibnu Mandzur, Syeikh Murtadho Az-Zabidi, yang dari Nusantara ada Syeikh Abdul Manan Dipomenggolo At-Tarmasi, Syeikh Abdusshomad Al-Palimbani, Kyai Kahar Muzakkir, Syeikh Ahmad Zaini Dahlan, Kyai Darwis, dan masih banyak lagi yang tak mungkin disebut satu per satu. Mereka semua menjalani proses menuntut ilmu dengan duduk di hadapan seorang guru, dengan talaqqi, tidak sebatas main instan.
Seharusnya, tegas gurunda Syeikh Aiman, para pelajar kini bersyukur dengan setia menjalani proses belajar-mengajar yang telah disediakan di Al-Azhar. Guru sudah ada, materi tinggal dipilih, para pelajar tinggal duduk manis untuk mendengarkan dan meneladani mutiara hikmah dari ilmu-ilmu yang disampaikan oleh para guru. Apa susahnya? Betapa bodohnya kita, sebagai pelajar, ketika begitu banyaknya mutiara yang dihamburkan di pelataran Jami’ Al-Azhar, tetapi mata dan hati kita dibutakan dengan tidak menyadari adanya mutiara-mutiara itu!.
Manhaj menuntut ilmu juga tidak lepas dari empat pokok yang perlu dicermati, yang dalam kitab Fawaid Al-Makkiyah begitu diwanti-wanti, yaitu: 1) Aqlun Rajjah, 2) Syakhun Fattah, 3) Kutubun Shihhah, 4) Al-Mudawamah wal Ilhah. Qultu: Hal ini juga mencangkup dalam manhaj menuntut ilmu bagi seorang Azhari sebagaimana disebutkan di atas. Dan ini, sekali lagi, semuanya tercangkup dalam proses menuntut ilmu kepada seorang guru – secara TALAQQI – yang belum tentu mampu dipetik dalam bangku perkuliahan.
Mengapa demikian? Karena dalam “Talaqqi” – yang perlu dicermati bersama – seorang murid dapat ditransfer molekul-molekul ilmunya dari seorang guru baik secara riwayat kontekstualnya, maupun dirayat pemahaman serta ahwal-nya. Di sini, seorang guru juga mampu memahami dan memperhatikan secara intens bagaimana murid-muridnya dalam proses menuntut ilmu; ada yang mudah dalam menangkap ilmu, ada yang mencernanya masih terasa buntu. Ditambah dalam proses ini, seorang guru mampu mengontrol perspektif dari seorang murid dalam penyampaian ilmu yang dimilikinya. Terlebih lagi, seorang murid amat terbuka peluangnya guna menanyakan dan memastikan keakuratan ilmu yang telah ditransfer oleh sang guru.
Adapun secara suluk. Dalam talaqqi, proses belajar-mengajar di hadapan seorang guru secara langsung mampu menumbuhkan akhlak seorang murid dalam menuntut ilmu. Ia diajarkan bagaimana cara ta’dzim dan penghormatan kepada sang guru – ridho seorang guru amatlah penting – begitupun terhadap kitab pegangannya dalam menuntut ilmu. Hal ini membuktikan akan penghormatan seorang murid terhadap ilmu, karena saking murninya ilmu itu – yang tidak sembarangan orang mampu merasakan Nur atau esensinya.
Sementara berjalinnya dakwah Islam secara murni, ini yang perlu dicermati. Dalam hal ini seorang murid belajar langsung kepada sang guru dengan mengkaji kitab tertentu dari mukaddimah sampai khatimah, dari materi yang dasar hingga level expert. Hal demikian dapat merealisasikan proses dakwah keilmuan Islam secara esensial dan komprehensif. Hakikat menuntut ilmu adalah untuk mengenal Islam secara mendetail; baik dari segi perspektif, bahasa, gramatika, retorika, logika, akidah, syariat, maupun hakikat dan akhlaknya. Dengan ini benar-benar mampu tertanam ilmunya, bukan sebatas maklumatnya.
Asupan vitamin ini belum tentu didapati dalam dakwah ceramah secara percuma; yang dimana sebatas dibubuhi maklumat ringkasnya. Begitupun dalam bangku perkuliahan, belum tentu mengkaji suatu ilmu secara mendetail hingga ke akarnya, karena sebatas disuguhi diktat secara singkat, sebatas disketsa covernya terhadap materi tertentu – yang belum mengkaji isinya satu per satu. Inilah nilai positifnya menuntut ilmu secara berguru, “talaqqi”. Dan ini, benar-benar membuktikan betapa luasnya nilai literasi keilmuan Islam, bukan sebatas cuma-cuma.
Al-Azhar benar-benar menekankan betapa urgensinya menuntut ilmu dengan seorang guru, dengan talaqqi. Karena di lain itu, pun yang perlu dicermati, pertama kali berdirinya Al-Azhar dalam bentuk proses belajar-mengajarnya secara talaqqi, bukan dengan konsep perkuliahan. Hasibtu: Maka demikian, akankah layak, kita para penuntut ilmu yang ada di Al-Azhar ini dikatakan sebagai “Thalibul Azhar” atau “Azhari” atau mungkin “alumni Al-Azhar sejati”, sementara kita saja yang berada di dalamnya tidak ada usaha menyempatkan waktu untuk “Talaqqi” (yang hal ini menjadi prioritas Al-Azhar) – ditambah setia melaksanakan kegiatan talaqqi itu secara istiqomah dan rutin dari awal mukaddimah hingga akhir khatimah. Pantaskah? Fataammal!.
Penulis: Rizki Andrian
Jelek banget tulisannya banyak pemborosan kata dan kalimat-kalimat yang tidak efektif jadi pusing bacanya