Scroll untuk baca artikel
Banner 325x300
Web Hosting
Web Hosting
Example 728x250
BeritaHardnews

Menyelisik Pelajaran Sirnanya Alfiyah Ibnu Malik

12
×

Menyelisik Pelajaran Sirnanya Alfiyah Ibnu Malik

Share this article

Oleh: Dwi Wijaya Kusuma

Example 468x60

Ketika duduk di bangku pesantren, saya sering mendengar kisah seorang ahli dalam berbahasa Arab yang bukan dari golongan orang Arab. Sosok ulama terkemuka tersebut sering dijuluki dengan Imam Sibaweh. Mirisnya seorang pemuda keturunan Arab yang jumawa tidak menerima ada seorang yang menguasai bahasa Arab bukan dari golongannya. Sehingga ia mendatangi rumah Sibaweh menantang dan ingin menguji kapabelitasnya dalam berbahasa.

Setiba di rumah tujuan pemuda tersebut bersimpuh layu lalu pulang lantaran mendengar kepiawan anaknya Sibaweh dalam menjawab dengan kalimat yang indah dari pertanyaan yang ia lontarkan. Kesombongan dalam kisah di atas menjadi penyakit akut yang sering kita jumpai. Terlebih sebagai seorang mahasiswa al-Azhar yang kesehariannya berbahasa Arab terkadang kita tidak sadar hal tersebut melekat pada diri kita. Sejatinya bahasa Arab memang menjadi kebutuhan primer ketika menuntut ilmu di al-Azhar. Dalam hal ini, urgensitas ilmu linguistik Arab harus diprioritaskan, terlebih dalam menggeluti akademik serta menikmati buah tangan karya ulama-ulama al-Azhar.

Selain Sibaweh, ilmu linguistik yang masyhur dalam khazanah intelektual adalah Alfiyah Ibnu Malik. Bagaimana tidak, karya yang begitu apik ini senantiasa dikaji dan dihapal oleh kalangan santri di pesantren tradisional maupun universitas internasional. Karya tersebut turut mengundang para cendekiawan dunia dan sastrawan Arab untuk menelaahnya. Hal itu dapat dibuktikan dengan berlimpahnya karya yang terlahir. Seperti kitab Durratul Mudhiah syarah kitab Alfiyah yang pertama ditulis oleh Muhammada Badruddin, kitab karya Ibnu Aqil, Ibnu Hisyam, al-Makudi, dan masih banyak lainnya.

Alfiyah Ibnu Malik merupakan karya linguistik monumental yang membahas perihal kaidah-kaidah ilmu sintaksis (Nahwu) dan morfologi (Sharaf). Kitab tersebut digagas oleh al-‘Allamah Abu ‘Abdillah Muhammad Jamaluddin bin Malik al-Thai. Pakar Gramatika Arab ini dilahirkan di Andalusia (Spanyol). Karya Ibnu Malik yang terdiri dari ribuan bait tersebut diakui kehebatannya, bahkan al-Alamah Syihabuddin Mahmud menyatakan bahwa Alfiyah Ibnu Malik dalam ranah Nahwu dan Sharaf bak laut tak bertepi.

Metode dalam mencetuskan kitab tersebut memang sedikit berbeda. Dengan kecerdasan dan kuat hafalan yang dimiliki Ibnu Malik, menjadikan dirinya lebih dahulu menghafal seribu bait dalam benaknya sebelum ditulis. Setelah merancang dan ingin mencetuskan sebuah kitab ilmu linguistik. Naasnya hafalan Ibnu Malik stagnan dan sirna dalam proses penyusunan satu persatu bait Alfiyah.

Ibnu Malik kehilangan inspirasi, semua hafalan dan memori dalam benaknya sirna ketika sampai pada nazam bait kelima. Satu huruf pun luput diingatannya sehingga merasa sulit untuk melanjutkan seribu bait yang telah dirancang. Tersebab demikian, proses penulisan kitab Alfiyah terjeda dalam beberapa waktu. Hal itu terjadi dikarenakan dirinya dihinggapi rasa ujub dalam menuliskan bait tersebut. Lantaran dianggap kurang sopannya kandungan makna syair dalam karangan Ibnu Malik terhadap guru-gurunya yang telah meninggal. Saat itulah asal mula kesulitan beliau untuk mencetuskan kitab Alfiyah.

Dalam bait tersebut Ibnu Malik hendak menerangkan bahwa kitab karangannya lebih unggul dan komprehensif dari karya ulama sebelumnya, yaitu Yahya bin Abdil Mu’thi bin Abdin Nur al-Zawawi al-Maghribi atau dikenal dengan Ibnu Mu’thi. Imam Ibnu Hamdun mengkisahkan dalam kitab Hasyiyah al-Alamah Ibn Hamdun ‘ala Syarhil al-Makudi li Alfiyati ibn Malik, bahwa Ibnu Malik meneruskan bait tersebut dengan syair Faiqatan laha bi alfi baiti # …… terhentinya inspirasi beliau dalam bait tersebut ketika hendak meneruskan. Dengan itu Imam Malik berupaya berpikir dan mencari kesalahannya. Melakukan pendekatan secara batin hingga menziarahi guru-gurunya.

Hingga ketika Ibnu Malik tertidur, dalam mimpi ia bertemu seseorang tak dikenal dan bertanya. “Aku dengar kamu mengarang Alfiyah dalam ilmu Nahwu?” Tanya orang misterius tersebut. “Betul,” sahut Ibnu Malik. “Sampai di mana?” Tanya kembali. “Faiqatan laha bi alfi baiti,” jawab pengarang Alfiyah. “Apa yang membuatmu berhenti dalam menyelesaikan bait ini?” Tanyanya. “Aku lesu tak berdaya dalam beberapa hari,” jawabnya lagi. “Kau ingin menuntaskannya?” Ungkapnya. “Iya,” pungkas Ibnu Malik.

Kemudian orang misterius itu melanjutkan bait tersebut dengan syair berbeda dan memiliki makna tersirat yang mendalam, Wa al-hayyu qod yaghlibu alfa mayyiti (orang hidup memang terkadang bisa menaklukan seribu orang meninggal). Tidak perlu diragukan bahwa orang hidup meskipun hanya seorang pasti akan mampu mengalahkan berapapun orang yang telah meninggal lantaran mereka tidak memiliki kuasa untuk pembelaan.

Bait yang dilanjutkan tersebut merupakan sindiran kepada Ibnu Malik atas rasa bangga (ujub) yang hinggap dalam dirinya. Lantaran kitab Alfiyah yang dianggap lebih mapan dari pengarang kitab-kitab sebelumnya yang telah wafat. Sindiran keras tersebut membuat Ibnu Malik tertampar sehingga perasaan hatinya tersipu. Segera Ibnu Malik bertanya kepada orang misterius tersebut dengan penuh penasaran. “Apakah kamu Ibnu Mu’thi?” Tanyanya. “Betul,” jawab orang misterius tersebut.

Sindiran mapan yang apik dibungkus dengan syair indah tersebut membuat seorang sastrawan, Ibnu Malik terpukau hingga merasa malu. Keesokan pagi hari, ia membuang potongan bait yang belum rampung itu, kemudian mengganti dengan dua bait yang lebih sempurna dan memiliki nilai sanjungan kepada guru yang telah berhasil mengingatkan dan menyelamatkannya dari sikap ujub. Dari kisah inilah terjawab kenapa Alfiyah Ibnu Malik memiliki syair berjumlah 1002 bait tidak hanya 1000.

Sejatinya, orang terdahulu memiliki keutamaan daripada orang setelahnya. Baik secara tradisi maupun syariat, orang sesudahnya pasti mengambil pelajaran dari orang sebelumnya. Sebagaimana termaktub dalam hadist bahwa, “Orang tua kalian lebih baik daripada anak-anak kalian hingga hari kiamat.” Begitu juga Ibnu Mu’thi telah meninggalkan pelajaran terlebih dahulu yang bisa diambil oleh Ibnu Malik dalam memanifestasikan karya Alfiyah.

Penggalan kisah Ibnu Malik dalam menulis kitab Alfiyah yang pernah disinggahi rasa ujub mengajarkan kita bahwa secerdas apapun seseorang, dalam ranah akademik ataupun lainnya. Tidak akan berarti, jika memiliki sifat takabur, merasa lebih hebat dan komprehensif dalam sebuah ilmu serta mengabaikan figur guru meskipun telah wafat. Sosok pengarang Alfiyah yang kapabel dalam keilmuan, pernah merasakan lupa dalam hafalannya ketika disinggahi rasa ujub. Lalu bagaimana dengan kita sebatas seorang santri atau pelajar al-Azhar yang pernah menghafalnya, kemudian dihinggapi rasa ujub (malas) untuk mengulang-ulangya?

Web Hosting
Example 120x600

Response (1)

  1. Tapi bagaimana dengan adanya metode dirasah muqaranah (studi banding) yang telah baku menjadi metode riset ilmiah dsn telah banyak menghadirkan literatur kontempirer yang baik. Metode ini kan karakter khasnya kan berimplikssi adanya pernyataan yang saling mengungulkan . Walaupun memang dalam hal ini yang menjadi penelitinya adalah diluar penulis literatur yang menjadi objek kajian.

Comments are closed.

Website