Sudah tidak asing lagi nama kitab “Al-Majmu’” di telinga para penuntut ilmu. Bagaimana tidak, sebuah mahakarya yang berbobot tiada duanya. Menjadi rujukan utama fikih Islami baik dalam mazhab Asy-Syafii secara khusus, juga dalam berbagai madzahib fiqhiyah secara umum. Sebuah babon yang mencakup ensiklopedia fikih Islami, yang komprehensif dan representatif dalam khazanah Islam keilmuan fikih.
Tidak jauh beda dengan beberapa mahakarya induk dalam setiap mazhab seperti Al-Muhalla karya Ibnu Hazm, Al-Umm karya Imam Asy-Syafii, Al-Mughni karya Ibnu Qudamah dalam fikih Hanbali, dan Al-Mabsuth karya As-Sarkhasi. Dimana Al-Majmu’ memiliki keunggulan tersendiri dibanding yang lain; yang pembahasannya mencakup perbedaan perspektif mazhab serta disuguhkan tarjihnya dengan presisi, sebuah rujukan yang cocok dikonsumsi baik dari segi klasik maupun modern.
Kegigihan Imam An-Nawawi yang begitu kuat di luar nalar dalam melahirkan sebuah mahakarya ini. Namun sayangnya, beliau harus tutup usia terlebih dahulu sementara masterpiece-nya belum usai ditutup. Ketika itu beliau menulis sampai awal pembahasan muamalat. Kemudian datanglah Imam Taqiyuddin As-Subki; yang melengkapi kitab Al-Majmu’ hingga pembahasan murabahah, dan tak lama itu beliau pun tutup usia.
Baca juga: Pemerintah Mesir Resmi Larang Iktikaf dan Maidaturrahman Selama Ramadan Tahun Ini
Betapa eloknya kitab ini, yang disajikan oleh dua Imam besar yang berbeda zaman dan berpengaruh dalam regenerasi mazhab Asy-Syafii. Satunya dari Syam, sementara satunya lagi dari Mesir.
Setelah peristiwa ini, dari kalangan fuqaha belum ada lagi yang melengkapi kembali kitab tersebut. Bahkan berabad-abad lamanya, sebuah rujukan induk komprehensif ini masih dalam cangkang manuskrip. Hingga memasuki tahun ke-1925 M, pada masa Al-Azhar dipimpin oleh Imam Akbar Syeikh Muhammad Al-Ahmadi Adz-Dzawahiri (Grand Syeikh ke-30) yang didampingi oleh Rektor Al-Azhar pada masa itu, yaitu Syeikh Muhammad Musthofa Al-Maraghi.
Baca juga: Al-Azhar adalah Doa
Melihat Al-Azhar yang senantiasa berperan sebagai penjaga nilai-nilai keutuhan turats Islami. Dari sinilah munculnya ide revitalisasi terhadap kitab Al-Majmu’ syarah Al-Muhadzab, yang pada saat itu dikepalai oleh Syeikh Mahmud Ad-Dinari sebagai ketua pelaksana dalam pentahkikan dan penerbitan ulang kitab Al-Majmu’.
Setelah mengalami pentahkikan yang begitu intens, kitab tersebut berhasil dicetak kembali – untuk yang pertama kalinya – dengan kisaran harga 60 pound-Mesir, 12 jilid. Kemudian dipublikasikan secara luas agar para pegiat ilmu mampu dengan mudah mengaksesnya serta mengkajinya.
Baca juga: Kemenag Matangkan Persiapan Seleksi Mahasiswa ke Timur Tengah
Sehingga dari sinilah, terbukanya inisiatif Syeikh Muhammad Najib Al-Muthi’i untuk melengkapi kitab Al-Majmu’ dengan metode dua Imam besar pendahulu; An-Nawawi dan As-Subki. Dimana beliau memberikan kesan terimakasih penuh terhadap Al-Azhar yang telah meghidupkan kembali kitab Al-Majmu’ dengan tahap tahkik dan pertama kali dicetak dari orisinil manuskripnya.
Berkat keikhlasan dan kegigihan para pewaris Nabi yang senantiasa menjaga nilai-nilai keilmuan Islam, maka kitab Al-Majmu’ semakin di depan; menjadi rujukan induk dalam khazanah fikih Islami yang dimuat dalam 23 jilid.
Catatan, meskipun Syeikh Muhammad Najib Al-Muthi’i belum pernah sekolah di madrasah Al-Azhar, ataupun di universitasnya. Akan tetapi kata Syeikh Ahmad Al-Hajjin selaku muridnya, bahwa Syeikh Muhammad Najib Al-Muthi’i asal Mesir tulen, beliau belajar dari banyak Masyayikh dan berpegang teguh dengan manhaj Al-Azhar.
Penulis : Rizki Andrian
Editor : Syaifur Rohman